Assalamu'alaikum Warohmatullohi wabarokatuh !
Selamat Datang & Terima Kasih Atas Kunjungan Anda Di Situs Kami
Untuk Order Cepat WA Kami ke 085710543828 Format Pemesanan Ketik: Psn#NamaProduk#Jumlah#Nama#AlamatLengkap#NoHP#Bank
Sebelum belanja di Toko Online Kami, ada baiknya agar Anda membaca terlebih dahulu menu CARA PEMESANAN & CARA PEMBAYARAN. Kami Menjamin RAHASIA ANDA, setiap Paket yang kami kirim tertutup rapat untuk umum. Harga yang Kami cantumkan di Situs ini adalah Harga Eceran. Untuk Harga GROSIR silahkan Hubungi Kami via Pin BB: 53539271, via Telp: 085217805323, via E-mail: walafan@gmail.com atau SMS ke 085710543828
Tampilkan postingan dengan label Gambar Islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gambar Islami. Tampilkan semua postingan

INILAH WAHHABI SESUNGGUHNYA YANG DIANGGAP SESAT OLEH ULAMA-ULAMA MAROKO…!!

INILAH WAHHABI SESUNGGUHNYA…!!

Wajib diketahui oleh setiap kaum Musimin di manapun mereka berada bahwasanya firqoh Wahhabi adalah Firqoh yang sesat, yang ajarannya sangat berbahaya bahkan wajib untuk dihancurkan. Tentu hal ini membuat kita bertanya-tanya, mungkin bagi mereka yang PRO akan merasa marah dan sangat tidak setuju, dan yang KONTRA mungkin akan tertawa sepuas-puasnya.. Maka siapakah sebenarnya Wahabi ini??

SHALAWAT PARA MALAIKAT BAGI ORANG-ORANG YANG MENYAMBUNG SHAF


Oleh
Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi

Di antara orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dengan shalawat Allah dan para Malaikat-Nya kepada mereka adalah orang-orang yang selalu menyambung shaff, mereka tidak akan membiarkan sebuah kekosongan dalam shaff.

Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:

1. Para Imam (yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim) meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ.

"Sesungguhnya Allah dan para Malaikat selalu bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaff-shaff." [1]

Al-Imam Ibnu Khuzaimah memberikan bab pada hadits ini dengan judul: “Bab Penyebutan Shalawat Allah dan Para Malaikat-Nya kepada Orang-Orang yang Menyambung Shaff.” [2]

Sedangkan Imam Ibnu Hibban memberikan bab pada hadits ini dengan judul: “Ampunan Allah جلّ وعلا serta Permohonan Ampun dari Para Malaikat bagi Orang yang Menyambung Shaff yang Terputus.” [3]

2. Imam Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi setiap shaff dari satu sudut ke sudut lainnya. Beliau mengusap setiap pundak atau dada-dada kami dengan berkata:

لاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفُ قُلُوْبُكُمْ.

"Janganlah kalian saling berselisih, karena jika demikian, maka hati-hati kalian pun akan berselisih."

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ اْلأُوَلِ.

“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat selalu bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaff-shaff terdepan.” [4]

Imam Ibnu Khuzaimah memberikan bab pada kitabnya dengan judul: “Bab Tentang Shalawat Allah dan Para Malaikat kepada Orang-Orang yang Menyambung Shaff-Shaff Terdepan.” [5]

Para Sahabat Radhiyallahu anhum dahulu sangat gigih dalam mengisi shaff yang kosong. Di antara riwayat yang menunjukkan hal tersebut adalah:

Pertama, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنِّّيْ أَرَاكُمْ مِنْ وَرَائِي ظَهْرِي.

“Luruskanlah shaff-shaff kalian, karena aku melihat kalian dari belakang punggungku.”

“Dan salah seorang di antara kami selalu menempelkan pundaknya kepada pundak sahabat yang ada di sisinya, dan kakinya kepada kaki sahabatnya tersebut.” [6]

Kedua, al-Imam Abu Dawud meriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap orang-orang dengan wajahnya dan kemudian bersabda:

أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ.

‘Luruskanlah shaff-shaff kalian!’ (diucapkan tiga kali). [7]

Lalu beliau bersabda:

وَاللهِ لَتُقِيْمُنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ

"Demi Allah, luruskanlah shaff-shaff kalian atau Allah akan menjadikan hati-hati kalian (saling) berselisih."

Beliau berkata: “Aku melihat seseorang yang merapatkan pundaknya kepada pundak Sahabat yang ada di dekatnya, lutut kepada lututnya, dan mata kaki kepada mata kakinya.” [8]

Syaikh Muhammad Syamsul Haqq al-‘Azhim Abadi berkata: “Hadits-hadits tersebut adalah dalil-dalil yang menunjukkan pentingnya meluruskan shaff-shaff dalam shalat. Dan hal tersebut merupakan bagian dari kesempurnaan shalat, yaitu dengan tidak ada yang lebih belakang atau lebih depan dari yang lainnya dalam satu shaff, pundak dirapatkan dengan pundak, lutut dirapatkan dengan lutut, dan mata kaki dirapatkan dengan mata kaki. Tetapi sayangnya, Sunnah ini ditinggalkan pada zaman sekarang, dan jika Sunnah ini dilakukan, maka banyak orang yang akan lari darinya bagaikan seekor keledai liar. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.” [9]

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang enggan menyambung shaff, akan tetapi semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmat-Nya menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selalu menyambung shaff-shaff dalam shalat sehingga Allah dan para Malaikat-Nya selalu bershalawat kepada kita semua.

Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.

[Disalin dari buku Man Tushallii ‘alaihimul Malaa-ikatu wa Man Tal‘anuhum, Penulis Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi, Penerbit Idarah Turjuman al-Islami-Pakistan, Cetakan Pertama, 1420 H - 2000 M, Judul dalam Bahasa Indonesia: Orang-Orang Yang Di Do'aka Malaikat, Penerjemah Beni Sarbeni]
_______
Footnote
[1]. Al-Musnad (VI/67 cet. Al-Maktab al-Islami), Sunan Ibni Majah kitab Iqaamatush Shalaah bab Iqaamatush Shufuuf (I/179 no. 981), Shahiih Ibni Khuzaimah kitab al-Imaamah fish Shalaah (III/23), al-Ihsaan fii Taqriibi Shahiih Ibni Hibban kitab ash-Shalaah bab Fardhu Mutaaba’atil Imaam (V/536 no. 2163), al-Mustadrak ‘alash Shahiihain kitab ash-Shalaah (I/213). Imam al-Hakim mengomentari hadits ini dengan berkata: “Hadits ini shahih sesuai syarat perawi Imam Mus-lim, tetapi Muslim dan al-Bukhari tidak meriwayatkannya.” (Ibid, I/213). Ungkapan al-Hakim disetujui oleh al-Hafizh adz-Dzahabi (lihat kitab at-Talkhiish I/213). Hadits ini di-shahihkan oleh Syaikh al-Albani. (Lihat kitab Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib I/272).
[2]. Shahiih Ibni Khuzaimah (III/23).
[3]. Al-Ihsaan fii Taqriibi Shahiih Ibni Hibban (V/536).
[4]. Shahiih Ibni Khuzaimah kitab al-Imaamah fish Shalaah (III/26). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, lihat kitab Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (I/272).
[5]. Shahiih Ibni Khuzaimah (III/26).
[6]. Shahiih al-Bukhari kitab al-Adzaan, bab Ilzaaqul Mankibi bil Mankibi wal Qadami bil Qadami fish Shaffi (II/256 no. 725).
[7]. Maksudnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kata-kata tersebut sebanyak tiga kali. (Lihat kitab ‘Aunul Ma’buud II/256)
[8]. Sunan Abi Dawud, kitab ash-Shalaah bagian dari bab-bab yang menjelaskan tentang shaff, bab Taswiyatush Shufuuf (II/255-256 no. 658). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. (Lihat Shahiih Sunan Abi Dawud I/130).
[9]. At-Ta’liiqul Mughni ‘alaa Sunan ad-Daraquthni (I/283-284)

=> Sumber <=

DOA BERBUKA PUASA YANG SHOHIH


Masyhur, tak selamanya jadi jaminan. Begitulah yang terjadi pada “doa berbuka puasa”. Doa yang selama ini terkenal di masyarakat, belum tentu shahih derajatnya.

Kemudahan Dalam Islam: BOLEHNYA SHALAT SAMBIL MENGGENDONG BAYI

Klik Gambar untuk tampilan lebih besar...

Apakah seorang ibu boleh shalat sambil menggendong anaknya?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullaah menjawab, “Shalat wanita sambil menggendong anaknya tidak apa-apa bila anaknya dalam keadaan suci dan memang butuh digendong karena mungkin anaknya menangis dan bisa menyibukkan si ibu apabila tidak menggendongnya.

Telah pasti kabar yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan beliau pernah shalat sambil menggendong cucu beliau Umamah bintu Zainab bintu Rasulullah. Ketika itu Rasulullah shalat mengimami orang-orang dalam keadaan Umamah dalam gendongan beliau. Bila berdiri, beliau menggendong Umamah dan di saat sujud beliau meletakkannya. Apabila seorang ibu melakukan hal tersebut maka tidak apa-apa, tetapi yang lebih utama tidak melakukannya melainkan jika ada kebutuhan.” (Nurun ‘alad Darb, hlm. 17)
(Sumber : http://asysyariah.com/shalat-menggendong-anak.html)

Pertanyaan: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sambil menggendong Umamah sebagaimana di dalam Ash Shahih, apakah hal ini secara mutlak atau disyaratkan hendaknya anak itu suci dari kotoran?

Jawaban:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dalam keadaan menggendong Umamah. Ini merupakan bentuk kasih sayang terhadap anak-anak dan bayi-bayi. Karena apabila mereka menangis sementara seseorang sedang shalat. Terkadang tangisan mereka menyibukkan dia dari shalatnya. Allah ta’ala berfirman,

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.” (Al Ahzab: 4)

Demikian pula seorang ibu terkadang tersibukkan dari shalatnya. Namun bilamana dia menggendong anaknya sebagaimana yang diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu apabila dia ruku’ maka dia letakkan anaknya. Dan apabila dia bangkit lalu dia menggendongnya. Maka anak itu menjadi tenang dari tangisannya, sehingga orang yang menjaganya menjadi khusyu’ dalam shalatnya. Dan dia menjadi perhatian terhadap anak tersebut karena rasa kasih sayang kepadanya.

Adapun perkara yang berkaitan dengan syarat suatu kesucian. Bila dia bisa terhindar dari kotorannya, maka tidak mengapa yang demikian. Namun apabila terdapat kotoran padanya, semisal air kencing atau selainnya, maka tidak boleh. Dan kisah Umamah dikemungkinkan bahwa dia dalam keadaan bersih dari najis kencing atau tahi, sebagaimana yang telah disebutkan oleh para ulama rahimahumullah.

(Sumber: Anak Amanah Ilahi karya Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuri (penerjemah: Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy dan Ummu Abdurrahman), penerbit: Penerbit Al-Husna bekerja sama dengan Al Fath Media, hal. 88-89.)


Bolehkan Membawa Anak Kecil Ke Masjid?

Anak, menurut definisi para ulama fikih adalah orang yang belum mencapai usia baligh. (al-Asybah wan Nadhair, as-Suyuthi, hal. 387)

Pertama, Anak yang sudah mencapai usia tamyiz

Jika anak sudah mencapai usia tamyiz, disyariatkan bagi walinya utk memerintahkan anak agar datang ke masjid. Karena orang tua diperintahkan utk menyuruh anaknya agar melakukan shalat setelah menginjak usia tamyiz. Berdasarkan hadis dari Sabrah radliallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perintahkanlah anak utk shalat jika sudah mencapai usia 7 tahun, & jika sudah berusia 10 tahun, pukullah mereka (jika tak mau diperintah) agar shalat melaksanakan shalat” (HR. Abu Daud, Turmudzi & dinilai shahih al-Albani)

Hadis ini menunjukkan dua hal penting:
a. Bahwa wali (pengurus) anak kacil yang sudah tamyiz, baik bapaknya, kakeknya, kakaknya, atau orang yang mendapat wasiat utk mengurusinya, mereka mendapatkan tugas dari syariat utk memerintahkan anak kecil agar melaksanakan shalat, & mengajarkan tata cara shalat yang sah, seperti syarat & rukun shalat. Ini berlaku, baik utk anak laki-laki maupun perempuan.

b. Hadis ini menunjukkan diziinkannya seorang anak utk masuk masjid. Karena masjid merupakan tempat pelaksanaan shalat. Si pengurus anak, hendaknya membiasakan anak tersebut utk sering ke masjid, menghadiri shalat jamaah, agar menimbulkan rasa cinta pada ibadah & ketergantungan hati pada masjid.

Kedua, anak yang belum tamyiz

Ada banyak hadis yang menunjukkan bolehnya mengajak anak yang belum tamyiz ke masjid. Diantara dalil tersebut adalah
1. Hadis dari Abu Qotadah al-Anshari mengatakan
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri dari Abul ‘Ash bin Rabi’ah. Apabila beliau sujud, beliau letakkan Umamah & jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.”

Dalam lafadz yang lain: “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami jamaah, sementara Umamah binti Abil ‘Ash (cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di gendongan beliau” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini memberikan 2 pelajaran penting
a. Bolehnya membawa bayi ke masjid, & boleh menggendongnya ketika shalat, meskipun itu adalah shalat wajib. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong Umamah, beliau mengimami para sahabat.

b. Pakaian bayi & badannya itu suci, selama tak diketahui adanya najis. Anggapan bahwa orang yang hendak shalat tak boleh menyentuh atau menggendong bayi, karena dimungkinkan ada najis di pakaiannya adalah anggapan yang tak berdasar. Prinsip “ada kemungkinan” hanyalah sebatas keraguan yang tak meyakinkan.

2. Hadis dari A’isyah radliallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya, hingga Umar datang memanggil beliau:

نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ

Wahai Rasulullah, para wanita & anak-anak telah tidur. (HR. Bukhari)

Ada dua kesimpulan penting dari hadis ini:
a. Bolehnya mengajak anak ke masjid & mengikuti shalat jamaah. Sebagaimana wanita juga boleh datang menghadiri jamaah. Terutama di waktu malam yang gelap, seperti shalat isya. Karena maksud pemberitaan Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa wanita & anak-anak yang menunggu jamaah shalat isya di masjid, telah tertidur. Inilah yang sesuai dgn makna teksnya. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa mereka tidur di rumah. Ini adalah anggapan yang tak benar. Karena jika mereka tidur di rumah maka itu sudah menjadi hal biasa, sehingga tak perlu orang semacam Umar radliallahu ‘anhu mengingatkan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Diantara ulama yang memahami bahwa tidurnya wanita & anak-anak ini di masjid adalah Imam al-Bukhari. Hadis ini, beliau letakkan di bawah judul bab: tentang wudhunya anak kecil,… & keterlibatan mereka dlm shalat jamaah, hari raya, shalat jenazah, & shaf mereka. Ini menunjukkan bahwa Al Bukhari memahami dari hadis ini, anak-anak tersebut hadir di masjid.

b. Lafadz ‘shibyan’ pada hadis di atas, bentuknya jamak definitif (ada alif lam), sehingga mencakup umum, semua anak, baik besar maupun kecil.

Catatan:

Pertama, tak boleh memindah anak kecil yang sudah menempati shaf
Jika ada anak kecil yang menempati shaf pertama, atau di belakang imam maka tak boleh dipindah, terutama jika sudah tamyiz. Ini merupakan pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama. Diantara alasan yang menguatkan hal ini adalah

a. Hadis dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menyuruh pindah saudaranya yang duduk di tempat tertentu, kemudian dia menduduki tempat tersebut. (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini merupakan larangan tegas utk menyuruh orang pindah dari tempatnya, kemudian dia menduduki tempat tersebut. Dan anak yang sudah tamyiz masuk dlm hukum ini.

Al-Qurthubi mengatakan:
Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam utk menyuruh orang lain pindah dari tempat duduknya, karena orang yang lebih dahulu menempati tempat tertentu, dia memiliki hak utk duduk di tempat tersebut, sampai dia sendiri ingin pindah tanpa dipaksa setelah tujuannya selesai. Seolah-olah dia memiliki hak utk memanfaatkan posisi tersebut, sehingga orang lain tak boleh menghalangi dirinya utk mendapatkan apa yang dia miliki. (al-Mufhim, 5/509)

b. Mengizinkan mereka utk tetap berada di shaf akan memberikan motivasi kepada mereka utk tetap shalat & datang ke masjid.

Berbeda dgn anggapan sebagian orang bahwa anak kecil harus berada di belakang shaf orang dewasa. Anggapan semacam ini tak sesuai denan kebiasaan para sahabat. Karena andaikan penataan shaf anak kecil harus selalu di belakang shaf orang dewasa, tentunya akan dinukil banyak riwayat dari sahabat & menjadi satu hal yang dikenal banyak orang, sebagaimana posisi shaf wanita yang selalu di belakang. (Hasyiyah Ibn Qosim utk ar-Raudhul Murbi’, 2/341)

Adapun, adanya beberapa riwayat dari sebagian sahabat yang memposisikan anak kecil di belakang maka dipahami dgn dua kemungkinan, pertama, itu merupakan pendapat pribadi beliau, atau kedua, karena anak itu tak paham shalat yang baik, sehingga bergurau ketika shalat. (al-I’lam bi Fawaid Umdatil Ahkam karya Ibnul Mulaqin, 2/533)

Bagaimana dgn hadis dari Ibn Mas’ud radliallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
“Hendaknya orang yang berada di belakangku adalah orang dewasa yang berakal, kemudian orang tingkatan berikutnya, kemudian berikutnya.” (HR. Muslim)

Hadis ini tidaklah melarang utk menempati shaf pertama & memposisikan mereka di shaf belakang. Hadis hanya menganjurkan agar para ‘ulul ahlam wan nuha‘ yaitu orang yang lebih pandai (dalam agama) utk menempati shaf awal, berada di belakang imam. Sehingga bisa mengingatkan imam ketika lupa atau menggantikan posisi jika dia batal. Andaikan maksud hadis adalah melarang anak kecil utk berada di depan, seharusnya lafadzkan: “Tidak boleh berada di belakangku kecuali ….” (as-Syarhul Mumthi’, 3/10)

Kedua, hadis dhaif yang melarang anak ke masjid

Sebagian orang yang berpendapat bahwa anak-anak tak boleh masuk masjid, berdalil dgn hadis:
“Jauhkanlah masjid kalian dari anak kalian”

Hadis ini diriwayatkan Ibn Majah & at-Thabrani dlm Mu’jam al-Kabir dari jalur al-Harits bin Nabhan, dari Utbah bin Abi Said, dari Makhul, dari Watsilah bin al-Asqa’ radliallahu ‘anhu. Perawi yang bernama Harits statusnya sangat lemah. Berikut keterangan ulama tentang perowi ini:
Al-Bukhari mengatakan: “Munkarul hadis.”
Nasa’i & Abu Hatim menilai orang ini dengan: “Matruk (ditinggalkan).”
Ibnu Main memberikan komentar utk orang ini dgn mengatakan: “Laisa bi Syai’in” terkadang, beliau menyatakan: “Hadisnya tak ditulis.”

Demikian beberapa keterangan yang disampaikan ad-Dzahabi dlm al-Mizan (1/444). Hadis ini memiliki beberapa jalur lain, namun tak ada satupun yang shahih. Keterangan selengkapnya ada di Nashbur Rayah (2/491).

Ketiga, dibolehkan membuat shaf dgn anak kecil
Seseorang tak boleh shalat sendirian di belakang shaf, sementara masih memungkinkan baginya utk menempatkan diri pada barisan di depannya. Ini berdasarkan hadis dari Wabishah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada seseorang yang shalat di belakang shaf sendirian. Kemudian beliau memerintahkan agar mengulangi shalatnya. (HR. Abu Daud & dinilai shahih al-Albani)

Bagaimana jika membuat shaf bersama anak kecil, apakah sudah bisa dinyatakan telah keluar dari larangan hadis Wabishah di atas?

Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Akan tetapi pendapat yang kuat, dibolehkan utk membuat shaf dgn anak kecil. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau menceritakan:
Neneknya, Mulaikah radliallahu ‘anha, pernah mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam utk makan di rumahnya. Setelah selesai makan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersiaplah, mari saya imami kalian utk shalat berjamaah.” Anas mengatakan: Kemudian aku siapkan tikar milik kami yang sudah hitam karena sudah usang, & aku perciki dgn air. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat & ada anak yatim bersamaku (dalam satu shaf), & wanita tua di belakang kami. Beliau mengimami shalat dua rakaat. (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini dalil bolehnya orang yang sudah baligh membuat shaf dgn anak kecil. Karena Anas bin Malik radliallahu ‘anhu shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seorang anak yatim. Sementara anak yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya & dia belum baligh.
Allahu a’lam

(Penyusun: Ustadz Ammi Nur Baits. Disarikan & disusun ulang dari risalah: Hudhurus Shibyan al-Masajida, karya Dr. Abdullah bin Sholeh al-Fauzan hafidzahullah (alfuzan.islamlight.net)

WAJIBNYA MERAPATKAN & MELURUSKAN SHAF

Klik gambar untuk melihat tampilan lebih besar..!

سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat”.

Takhrij Hadits:
Hadits dengan lafadz ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohihnya (433) dari shahabat Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu-, dan dalam riwayat Al-Bukhary (723), dengan lafazh:
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ
”Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk menegakkan sholat.”

Semakna dengannya, hadits Abu Hurairah -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- dalam riwayat Al-Bukhary (722) dan Muslim (435), dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:
وَأَقِيْمُوْا الصَّفِّ فِي الصَّلاَةِ, فَإِنَّ إِقَامَةِ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلاَةِ
“Dan tegakkanlah shaf di dalam shalat, karena sesungguhnya menegakkan shaf termasuk diantara baiknya sholat”.

Kosa Kata Hadits:
  1. Sabda beliau [luruskanlah shaf-shaf kalian] yakni, lurus dan seimbanglah dalam bershaf sehingga kalian seakan-akan merupakan garis yang lurus, jangan salah seorang di antara kalian agak ke depan atau agak ke belakang dari yang lainnya, serta merapat dan tutuplah celah-celah kosong yang berada di tengah shaf.
  2. Sabda beliau [termasuk kesempurnaan sholat], yakni penyempurna sholat. Sesuatu dikatakan sempurna jika telah sempurna seluruh bagian-bagiannya, sehingga satu bulan dikatakan sempurna jika harinya sudah genap 30.
  3. Sabda beliau [sesungguhnya menegakkan shaf], yakni meluruskan dan menyeimbangkannya ketika hendak mendirikan shalat berjama’ah.
  4. Sabda beliau [termasuk diantara baiknya sholat]. Ibnu Baththol menjelaskan bahwa “baiknya sesuatu” adalah kadar tambahan setelah sempurnanya sesuatu tersebut.
[Lihat: Fathul Bary (2/209), ‘Aunul Ma’bud (2/259), dan Faidhul Qodir (2/537) dan (4/115-116)]

Syarh:
Di antara sunnah (1) yang banyak dilalaikan dan tidak diketahui ummat adalah meluruskan dan merapatkan shaf. Sunnah ini telah ditinggalkan oleh mereka sehingga nampak fenomena yang menyedihkan berupa adanya ketidakrapian shaf dalam sholat berjama’ah. Di lain sisi, orang yang diangkat jadi imam sholat juga tidak paham mengenai sunnah yang satu ini. Kalaupun paham, mereka tidak berusaha mengajarkannya kepada jama’ah, -baik karena sikap acuh tak acuh mereka terhadap sunnah atau karena sungkannya mereka kepada jama’ah yang telah menunjuk dirinya sebagai imam sehingga takut jika posisi itu hilang darinya ketika dia mengajarkan dan menerapkan sunnah yang mulia ini- sehingga terjadilah kekacauan dalam barisan jama’ah yang terkadang melahirkan perselihihan batin dan kebencian. Sebagai bentuk usaha dalam mengatasi problema ini, kami merasa perlu untuk menjelaskan sunnah yang mahjuroh (ditinggalkan) ini dan menyebarkannya melalui tulisan yang ringkas ini. Berikut penjelasannya:

Anjuran Menyambung Shaf dan Ancaman Memutuskannya

Banyak nash dari hadits Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menganjurkan kita agar kita meluruskan dan merapatkan shaf, bahkan beliau juga telah mengancam orang yang memutuskannya dengan ancaman yang keras.
1. Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu Ta’ala ‘anhuma- beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
أَقِيْمُوُا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّمَا تَصُفُّوْنَ بِصُفُوْفِ الْمَلاَئِكَةِ, وَحَاذُوْا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسَدُّوْا الْخَلَلَ وَلِيْنُوْا بِأَيْدِيْ إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوْا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ. وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Luruskan shaf-shaf kalian karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti shafnya para malaikat. Luruskan di antara bahu-bahu kalian, isi (shaf-shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan (lengan) saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)”.(2)

Imam Abu Dawud As-Sijistany -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Makna sabdanya:[ “Lembutilah tangan-tangan (lengan) saudara kalian”] (adalah) apabila ada seorang yang datang menuju shaf, lalu ia berusaha masuk, maka seyogyanya setiap orang melembutkan (melunakkan) bahunya untuknya sehingga ia bisa masuk shaf”. (3)

Jika menutup celah yang renggang saja merupakan perkara yang sangat dianjurkan, apalagi jika itu merupakan kekosongan dan kerenggangan yang sangat lapang di antara satu jama’ah dengan jama’ah lainnya -sebagaimana yang terlihat di banyak masjid di tanah air-, maka ini tentu lebih dianjurkan bahkan diperintahkan.

2. ‘A`isyah -radhiallahu Ta’ala ‘anha- berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَبَنَى لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang menutupi suatu celah (dalam shaf), niscaya Allah akan mengangkat derajatnya karenanya dan akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga”. (4)

Janji yang demikian besarnya, tentunya tidak diberikan kecuali kepada orang yang memiliki semangat yang tinggi dalam mengamalkan sunnah Rasulullah-Shallallahu ‘alaihi wasallam- di saat manusia banyak yang meninggalkannya dan melalaikannya, bahkan terkadang diingkari. Demikian pula orang yang menolong saudaranya dalam melaksanakan sunnah ini dengan melunakkan bahunya agar saudaranya bisa masuk ke dalam shaf dan tidak terhalang, wajar jika ia disebut sebagai “orang yang terbaik akhlaknya”.

3. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبِ فِي الصَّلاَةِ, وَمَا مِنْ خَطْوَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ خَطْوَةٍ مَشَاهَا رَجُلٌ إِلَي فُرْجَةٍ فِي الصَّفِّ فَسَدَّهَا
“Orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling lembut bahunya dalam sholat. Tak ada suatu langkahpun yang lebih besar pahalanya dibandingkan langkah yang dilangkahkan menuju celah dalam shaf, lalu ia menutupinya”. (5)

Perintah Meluruskan dan Merapatkan Shaf

Para pembaca yang budiman telah membaca hadits-hadits yang menganjurkan kita untuk meluruskan dan merapatkan shaf dan juga ancaman bagi orang yang memutuskan shaf dengan cara membuat celah antara bahunya dengan bahu saudaranya, maka wajarlah jika Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan hal tersebut demi menekankan pentingnya meluruskan dan merapatkan shaf serta bahaya memutuskannya.
1. Dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- berkata: Rasulullah-shollallahu alaihi wasallam- bersabda:
اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ
“Luruslah kalian dan jangan kalian berselisih. Lantaran itu, hati-hati kalian akan berselisih”. (6)

Perhatikan bagaimana Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengancam orang yang berselisih dalam mengatur shaf, satunya maju sedikit dan satunya lagi agak ke belakang. Inilah yang dimaksud berselisih dalam hadits ini.

2. Dalam hadits lain beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Kalian akan benar-benar meluruskan shaf, atau Allah benar-benar akan membuat hati-hati kalian berselisih”. (7)

Seseorang tidak akan mampu meluruskan shafnya jika ia tidak merapatkan barisannya. Karenanya Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan hal itu dalam sebuah hadits dari:

3. Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- bercerita, “Sholat telah didirikan (telah dikumandangkan iqomah), lalu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menghadapkan wajahnya kepada kami seraya bersabda:
أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ وَتَرَاصُّوْا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ
”Tegakkanlah shaf-shaf kalian dan rapatkan karena sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari balik punggungku”. (8)

Meluruskan shaf dan merapatkannya sangat diperhatikan oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau, sehingga tak heran jika beliau mengingatkan dan memerintahkannya dalam hadits-haditsnya. Bahkan meluruskan shaf merupakan salah satu jalan menyempurnakan dan menegakkan sholat, sedangkan menyempurnakan dan menegakkan sholat merupakan kewajiban. Seorang tak boleh mengurangi kesempurnaanya dengan merenggangkan shaf.

Tata Cara meluruskan dan Merapatkan Shaf
Jika seseorang mau menilik dan meneliti hadits-hadits Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka ia akan menemukan di dalamnya permata berharga bagi para pencinta sunnah, mata air yang menyejukkan hati dan penawar bagi hati yang sakit. Tak ada suatu kemaslahatan apapun, kecuali beliau telah jelaskan, dan sebaliknya tak ada satu mudhorotpun yang akan membahayakan diri seseorang, kecuali beliau telah ingatkan.
Di antara kemaslahatan tersebut adalah tata cara meluruskan shaf. Kemudian tak mungkin beliau memerintahkan dan mewajibkan sesuatu, kecuali beliau pasti telah menjelaskan tata cara dan kaifiyahnya kepada para sahabatnya.

Tata cara meluruskan dan merapatkan shaf ini telah dipraktekkan oleh para sahabat setelah mereka dibimbing langsung oleh Nabi mereka -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka sekarang mari kita biarkan salah seorang sahabat yang mulia yang bernama Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- yang menerangkan tata cara dan kaifiyah meluruskan dan merapatkan shaf di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Anas bin Malik berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يَلْزِقُ مَنْكَبَهُ بِمَنْكَبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بَقَدَمِهِ .وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بِغَلِ شُمُوْسٍ
“Dulu, salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu teman di sampingnya serta kakinya dengan kaki temannya. Andaikan engkau lakukan hal itu pada hari ini, niscaya engkau akan melihat mereka seperti bagal (9) yang liar”.(10)

Apa yang dikatakan oleh Anas -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- adalah benar. Andaikan kita terapkan petunjuk Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya dalam merapatkan shaf, niscaya kita akan melihat orang di samping kita bagaikan cacing kepanasan, tidak rela jika kakinya ditempeli oleh kaki saudaranya, bahkan marah dan buruk sangka kepada hamba Allah yang taat. Alangkah buruknya orang jenis ini, semoga Allah tidak memperbanyak jumlahnya.

Busyair bin Yasar Al-Anshory pernah berkata, “Tatkala Anas datang ke Madinah, maka ada yang bertanya kepadanya: “Apakah yang anda ingkari pada kami sejak hari engkau mengenal Rasulullah-shollallahu alaihi wasallam-?”. Maka beliau berkata: [“Aku tak mengingkari (kalian), kecuali karena kalian tidak menegakkan shaf”]”.(11)

Syaikh Masyhur Hasan Salman -hafizhohullah- berkata dalam mengomentari atsar di atas, “Demikianlah kondisi kebanyakan orang di zaman kita ini. Andaikan hal itu dilakukan di hadapan mereka, maka mereka akan lari laksana keledai liar. Sunnah ini di sisi mereka berubah seakan-akan menjadi suatu bid’ah (ajaran baru) -na’udzu billah-. Semoga Allah menunjuki mereka dan membuat mereka merasakan manisnya sunnah”. (12)

Apa yang dikatakan Anas dalam Atsar di atas memperjelas bagi kita bahwa tata cara tersebut telah mereka lakukan sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bukanlah merupakan hasil ijtihad mereka, bahkan merupakan hasil pemahaman mereka terhadap sabda-sabda Nabi mereka -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang memerintahkan serta mewajibkan meluruskan dan merapatkan shaf. Praktek mereka merupakan tafsiran dan manifestasi dari perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada mereka dalam meluruskan dan merapatkan shaf. Maka janganlah anda yang tertipu dengan orang yang menyatakan bahwa perkara ini bukanlah wajib, apalagi sampai mengingkarinya dan menyatakannya sebagai akhlaknya orang-orang yang tak berakhlak.

Al-Hafizh -rahimahullah- berkata ketika mengomentari atsar Anas di atas, “Pernyataan ini memberikan faedah bahwa perbuatan (para sahabat) tersebut telah ada sejak zaman Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Berdasarkan hal ini, maka sempurnalah pengambilan hujjah yang menjelaskan maksud menegakkan shaf dan meluruskannya”. (13)

Maka batillah pendapat orang yang menyatakan bahwa menempelkan bahu dengan bahu, kaki dengan kaki dan lutut dengan lutut ketika merapatkan shaf merupakan perkara baru.(14)

Syaikh Nashir Al-Albany -rahimahullah- berkata dalam menyanggah mereka, “Sungguh telah ada sebagian penulis di zaman ini yang mengingkari menempelkan (kaki) seperti ini dan menyangka bahwa itu adalah model baru (bid’ah) atas contoh yang ada dan bahwa di dalamnya terdapat sikap keterlaluan dalam menerapkan sunnah. Dia telah menyangka bahwa yang dimaksudkan dengan menempelkan adalah anjuran untuk menutupi celah shaf, bukan hakekat menempel. Ini merupakan ta’thil (peniadaan) terhadap hukum-hukum ‘amaliyah yang persis menyerupai peniadaan sifat-sifat Ilahiyah. Bahkan ini lebih jelek dibandingkan itu, karena rawi menceritakan tentang perkara yang disaksikan, terlihat oleh mata kepalanya, yaitu menempelkan. Sekalipun demikian ia masih tetap berkata: [“Bukanlah yang dimaksudkan hakekat menempelkan”] Wallahul musta’an”. (15)

Benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albany bahwa menempelkan kaki, bahu dan lutut merupakan sunnah Nabi. Adapun beralasan dengan ketidakmampuan dan keengganan sebagian orang melaksanakannya, bukanlah hujjah dalam menggugurkan sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, sebab kenyataannya cara tersebut bisa dikerjakan. Adapun orang yang enggan karena merasa sempit dadanya ketika ditempeli kakinya oleh kaki saudaranya, maka tak bisa dijadikan hujjah. Jika ada sebagian orang tak mampu menempelkan kakinya karena pada kakinya ada sifat kurang sempurna, maka bertaqwalah semampunya. Artinya, berusaha lakukan semampunya dan jika dia tetap tidak bisa, maka dia telah mendapat udzur.

Sekali lagi kami katakan bahwa meluruskan dan merapatkan shaf merupakan sunnah (baca: petunjuk) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada para sahabat dan ummat beliau yang telah disaksikan oleh Anas bin Malik radhiallahu Ta’ala ‘anhu. Bahkan bukan hanya beliau (Anas), bahkan cara ini disaksikan oleh semua sahabat yang sholat di belakang beliau.

Coba dengarkan dengan baik penuturan seorang sahabat yang mulia yang bernama Nu’man bin Basyir -radhiallahu Ta’ala ‘anhu-, beliau menuturkan realita yang terjadi di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Aku melihat seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya”. (16)

Syaikh Husain bin Audah Al-Awayisyah berkata, “Dipahami dari pembahasan lalu bahwa meluruskan dan merapatkan shaf maksudnya adalah: 1-Seorang yang sholat menempelkan bahunya dengan bahu temannya, kakinya dengan kaki temannya, lututnya dengan lutut temannya dan mata kakinya dengan mata kaki temannya”. 2- Menjaga kesejajaran antara bahu-bahu, leher-leher dan dada. Tak ada leher yang berada di depan leher lainnya, tak ada bahu di depan lainnya dan tak ada dada di depan dada lainnya. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sungguh telah bersabda, “Janganlah dada kalian berselisih, lantaran itu, hati kalian akan berselisih”. (17)” (18).
Demi tersebarnya sunnah ini, maka kami anjurkan kepada para imam masjid agar meluruskan dan merapatkan shaf, serta berjalan memeriksa shaf yang masih renggang dan belum rapat, sebagaimana hal ini telah dilakukan oleh manusia yang terbaik, Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.

Dari sahabat Nu’man bin Basyir -radhiyallahu anhu-berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوْفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ. ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدْرَهُ مِنَ الصَّفِّ فَقَالَ: عِبَادَ اللهِ ! لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
“Dulu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meluruskan shaf kami sehingga seakan beliau meluruskan anak panah (ketika diruncingkan,pen), sampai beliau menganggap kami telah memahaminya. Beliau pernah keluar pada suatu hari, lalu beliau berdiri sampai beliau hampir bertakbir, maka tiba-tiba beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya dari shaf. Maka beliau bersabda, [“Wahai para hamba Allah, kalian akan benar-benar akan meluruskan shaf kalian atau Allah akan membuat wajah-wajah kalian berselisih”]”. (19)

Hukum Meluruskan dan Merapatkan Shaf
Berdasarkan hadits-hadits yang telah berlalu, para ulama kita menjelaskan bahwa meluruskan shaf dan merapatkannya merupakan perkara yang wajib atas setiap jama’ah sholat. Wajibnya hal ini dipahami dengan adanya perintah dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan juga ancaman beliau terhadap orang yang melalaikannya. Karena, jika memang meluruskan dan merapatkan shaf bukan perkara wajib tapi mustahab (sunnah/dianjurkan), maka tentunya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak akan memberikan perintah dan ancaman berkaitan dengan hal tersebut. Sebab sesuatu yang hukumnya mustahab (mandub/sunnah) boleh dikerjakan -dan itulah yang lebih baik- dan juga boleh ditinggalkan tanpa ada celaan. Jadi, apabila ada suatu perintah lalu diiringi dengan ancaman bagi orang yang meninggalkan perintah tersebut, maka ini menunjukkan bahwa hal itu hukumnya wajib. Dari sisi yang lain, seluruh perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hukum asalnya adalah wajib, kecuali jika ada dalil lain menunjukkan bolehnya sekali-sekali tidak meluruskan shaf dan merapatkannya, maka hukumnya berubah menjadi mandub (sunnah/tidak wajib). Namun disana tidak ada dalil yang mengubah hukum asal ini, artinya tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- atau para sahabat pernah sekali tidak meluruskan dan merapatkan shaf. Maka diketahuilah dari semua hal ini bahwa meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya adalah wajib.

Al-Imam Al-Ba’ly -rahimahullah- berkata, “Lahiriah (zhohir) pendapat Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah bahwa meluruskan shaf adalah wajib, karena Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah melihat seorang lelaki yang membusungkan dadanya (dalam shaf), maka beliau bersabda, [“Kalian benar-benar akan meluruskan shaf kalian ataukah Allah akan membuat hati-hati kalian berselisih”], beliau -‘alaihish sholatu was salam- juga bersabda, [“Luruskanlah shaf-shaf kalian karena meluruskannya adalah termasuk kesempurnaan sholat”] Muttafaqun ‘alaihi. Al-Bukhary membuatkan judul bagi hadits ini, (Bab: Dosa Orang yang Tidak Meluruskan Shaf)”. (20)

Al-Imam Ibnu Hazm Al-Andalusy -rahimahullah- berkata, “Diwajibkan atas kaum mukminin untuk meluruskan shaf –orang yang pertama lalu yang berikutnya-dan merapatkan shaf, serta menyejajarkan bahu dengan bahu serta kaki dengan kaki”. (21)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan hukum meluruskan shaf, “Berdasarkan hal ini, maka ia adalah wajib dan berbuat kekurangan di dalamnya adalah haram”. (22)

Ibnul Mulaqqin -rahimahullah- berkata, “Konsekwensi segi yang pertama adalah wajibnya meluruskan shaf dengan adanya ancaman karena meninggalkannya”. (23)

Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata ketika mengomentari hadits yang memerintahkan untuk meluruskan shaf, “Di dalam hadits tersebut terdapat keterangan wajibnya meluruskan shaf”. (24)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin -rahimahullah- berkata seusai membawakan hadits yang berisi ancaman bagi orang yang tidak meluruskan shaf, “Tanpa ragu lagi, ini merupakan ancaman bagi orang yang tidak meluruskan shaf, karena itulah sebagian ulama berpendapat wajibnya meluruskan shaf. Mereka berdalil untuk hal itu dengan adanya perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap hal itu serta ancaman beliau karena penyelisihannya. Sesuatu yang telah datang perintah tentangnya dan juga ancaman karena menyelisihinya, ini tak mungkin dikatakan sunnah saja! Oleh karena itulah, maka pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah wajibnya meluruskan shaf, dan bahwa jama’ah jika tidak meluruskan shaf, maka mereka berdosa”. (25)

Syaikh Muhammad Nashir Al-Albany -rahimahullah- berkata ketika menyebutkan beberapa faedah dari sebuah hadits yang mengancam seseorang jika tidak meluruskan shaf, “Dalam kedua hadits ini terdapat dua faedah. Pertama: Wajibnya menegakkan, meluruskan dan merapatkan shaf karena adanya perintah untuk hal itu. Sedangkan asalnya segala perintah adalah wajib kecuali jika ada qorinah (korelasi) yang memalingkannya sebagaimana yang tertera dalam ilmu ushul. Namun qorinahnya di sini menguatkan wajibnya, yaitu sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, [“…ataukah Allah akan benar-benar membuat hati-hati kalian berselisih”]. Karena -tidak samar lagi bahwa- ancaman seperti ini tidak mungkin diucapkan terhadap sesuatu yang bukan wajib. Kedua: Pelurusan shaf tersebut adalah dengan cara menempelkan bahu dengan bahu dan tepi kaki dengan kaki, karena inilah yang dilakukan oleh para shahabat -radhiallahu ‘anhum- ketika mereka diperintahkan menegakkan dan merapatkan shaf. Karena itulah, Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath setelah beliau membawakan tambahan hadits yang aku datangkan pada hadits yang pertama dari ucapan Anas, [“Pernyataan ini memberikan faedah bahwa perbuatan (para sahabat) tersebut telah ada sejak zaman Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam-. Berdasarkan hal ini, maka sempurnalah pengambilan hujjah yang menjelaskan maksud menegakkan shaf dan meluruskannya”.(26)]. Di antara perkara yang kita sesalkan, sunnah ini -berupa pelurusan shaf- sungguh telah diremehkan oleh kaum muslimin, bahkan mereka telah menyia-nyiakannya kecuali sedikit di antara mereka. Sesungguhnya aku tidak melihat hal ini (meluruskan dan merapatkan shof) ada pada suatu kelompok di antara mereka kecuali pada ahlul hadits karena aku pernah melihat mereka di Makkah pada tahun 1368 H, mereka amat semangat berpegang dengannya sebagaimana halnya sunnah-sunnah Nabi Al-Musthofa -alaihish sholatu was salam- lainnya. Berbeda dengan yang lainnya dari kalangan pengikut madzhab-madzhab yang empat -aku tidak kecualikan Hanabilah-. Sunnah ini telah berubah menjadi sesuatu yang terlupakan di sisi mereka. Bahkan mereka saling mengikuti dalam meninggalkannya dan berpaling darinya. Demikianlah, karena mayoritas madzhab mereka telah menetapkan bahwa yang sunnah ketika berdiri sholat adalah merenggangkan di antara dua kaki sejarak 4 jari, jika melebihi, maka hukumnya makruh sebagaimana datang perinciannya dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (1/207). Ketentuan seperti itu tak ada asalnya dalam sunnah, itu hanyalah merupakan pendapat semata. Andaikan hal itu benar, maka harus dikhususkan bagi imam dan munfarid (orang yang sholat sendirian) agar sunnah-sunnah ini tidak dipertentangkan sesuai konsekwensi kaidah-kaidah ushul. Intinya, aku mengajak kaum muslimin -terkhusus lagi para imam masjid- yang memiliki semangat untuk mengikuti Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-dan mau memperoleh fadhilah menghidupkan sunnahnya -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk mengamalkan sunnah ini (yaitu meluruskan shaf,pen), bersemangat melakukannya dan mengajak manusia kepadanya sehingga mereka semua berpadu di atasnya. Dengan itulah, mereka akan selamat dari ancaman, [“…ataukah Allah akan benar-benar membuat hati-hati kalian berselisih”]. Pada cetakan ini aku tambahkan seraya berkata, ”Telah sampai kepadaku berita tentang seorang da’i bahwa ia meremehkan perkara sunnah amaliyyah ini yang telah dijalani oleh para shahabat dan ditaqrir oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Orang itu mengisyaratkan bahwa itu bukan dari hasil pengajaran Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada mereka. Namun orang ini tak sadar -wallahu A’lam- kalau itu merupakan pemahaman dari para shahabat, ini yang pertama. Yang kedua, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah mentaqrir mereka atas hal tersebut. Demikian itu sudah cukup bagi Ahlus Sunnah dalam menetapkan disyari’atkannya hal tersebut. Karena orang yang menyaksikan (langsung kejadian) bisa melihat sesuatu yang tak dilihat oleh orang yang absen. Mereka adalah suatu kaum yang tak akan celaka orang yang mengikuti jalan mereka”. (27)

Inilah sekelumit komentar tentang sunnah (baca: petunujuk) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau dalam meluruskan dan merapatkan shaf. Semoga tulisan ini bisa menjadi pemicu bagi kita untuk mengamalkan sunnah ini dan sekaligus nasehat bagi orang-orang yang menyangka bahwa itu bukan sunnahnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat. Semoga Allah menjadikan kita sebagai pengikut setia sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan mematikan kita di atas Islam yang suci ini.

Terakhir, kami sampaikan nasehat kepada kaum muslimin -terutama para saudara kita yang menjadi imam masjid-, “Terapkanlah sunnah ini kepada jama’ah kalian, niscaya kalian akan mendapatkan pahala yang tinggi di sisi Allah. Namun jika kalian meremehkan hal ini, maka akan terjadi perpecahan dan kebencian di antara kalian dari arah yang tidak kalian ketahui sebabnya, akibat kalian telah melanggar petunjuk Allah -Ta’ala- dan Rasul-Nya -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.

Ketahuilah, kalian akan ditanyai oleh Allah sebagai pertanggungjawaban atas segala perbuatan kalian pada hari anak dan harta benda tidak berguna lagi bagi kalian. Janganlah kalian menghalangi para hamba Allah yang mau mengamalkan sunnah ini, apa lagi membencinya. Karena kalian akan menjadi musuh Allah di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan peperangan baginya”.(28)

Jadi, orang yang memusuhi dan membenci orang yang menerapkan sunnah ini akan dimusuhi Allah, karena orang-orang yang melaksanakan sunnah berarti ia taat kepada Allah. Sedang wali Allah adalah orang yang taat kepada Allah. Maka takutlah kalian kepada Allah Ta’ala”.

=====================
 Catatan Kaki:
  1. Kata “sunnah” memiliki dua pengertian. Pertama: Sunnah bermakna sesuatu yang dianjurkan dan biasa diistilahkan mandub atau mustahab. Kedua: Sunnah bermakna “petunjuk “ yang pernah pernah dilakukan oleh Nabi-shollallahu alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Definisi kedua ini mencakup perkara yang wajib maupun mandub/mustahab. Dalam tulisan ini jika kami menyebut kata “sunnah”, maka yang kami maksudkan sunnah menurut definisi kedua yang bermakna “petunjuk”. Kami tak gunakan istilah sunnah untuk mengungkapkan perkara yang mustahab/mandub. Ini kami jelaskan karena banyak orang yang salah paham dalam menggunakan istilah sunnah. Seperti jika kita katakan: Meluruskan dan merapatkan shaf adalah sunnah Nabi-shollallahu alaihi wasallam-. Serta merta ada yangmengatakan: Kenapa anda mewajibkan sesuatu jika memangnya sunnah ?!! Padahal sunnah yang kita maksudkan disini adalah bermakna “petunjuk” mencakup yang wajib maupun yang tidak wajib (baca: mustahab/mandub). Namun tentunya meluruskan shaf dan merapatkannya merupakan sunnah Nabi-shollallahu alaihi wasallam- yang hukumnya wajib, bukan mandub/mustahab. Akan datang penjelasannya, insya Allah Ta’ala. Semoga bisa dipahami.
  2. HR.Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dan lainnya. Dishohihkan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (743)
  3. Lihat Sunan Abu Dawud, hal.110 karya Sulaiman Ibnul Asy’ats As-Sijistany Al-Azdi, cet. Dar Ibnu Hazm, tahun 1419 H
  4. HR.Ibnu Majah Al-Qozwini dalam Sunan-nya (1004). Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Muhammad Nashir Al-Albany -rahimahullah- dalam Shohih Sunan Ibnu Majah (1004) dan At-Ta’liq Ar-Roghib (1/335) cet. Maktabah Al-Ma’arif , tahun 1421 H
  5. HR.Al-Imam Ath-Thobrony dalam Al-Ausath (1/23/2). Hadits ini shohih lighoirihi sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (2533)
  6. HR. Al-Imam Muslim dalam Shohih-nya (432)
  7. HR. Al-Imam Al-Bukhory dalam Shohih-nya (717), dan Muslim dalam Shohih-nya(436)
  8. HR. Al-Imam Al-Bukhory dalam Shohih-nya (719)
  9. Bagal:Hewan hasil perkawinan campur antara kuda dengan keledai.
  10. HR.Al-Bukhory (725)
  11. HR.Al-Bukhory (724)
  12. Lihat Al-Qoul Al-Mubin fi Akhtho’ Al-Mushollin, hal.207
  13. Lihat Fath Al-Bari (2/211)
  14. Lihat Laa Jadiida fi Ahkam Ash-Sholah, hal.13 karya Syaikh Bakr Abu Zaid-hafizhohullah-
  15. Lihat Silsilah Ahadits Ash-Shohihah (6/1/77) karya Al-Albany. Pada temapat lain beliau juga singgung hal ini. Lihat Ash-Shohihah (1/1/73-74)
  16. HR.Abu Dawud (662), Ibnu Hibban, Ahmad (4/276), dan Ad-Daulaby dalam Al-Kuna (2/86). Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (32)
  17. HR.Ibnu Khuzaimah. Lihat Shohih At-Targhib (513)
  18. Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassaroh (2/247-248)
  19. HR.Muslim dalam Shohih-nya(436)
  20. Lihat Al-Ikhtiyarot, hal.50 via Asy-Syarh Al-Mumti’.
  21. Lihat Al-Muhalla (4/52) via Minhaj An-Najah
  22. Lihat Fathul Bari (2/268) karya Al-Hafizh, ta’liq Ibnu Baz & Asy-syaibly, Darus Salam, 1421 H
  23. Lihat Minhaj An-Najah fi Wujub Taswiyah Ash-Shufuf fi Ash-Sholah (2/519) , cet. Maktabah Al-Furqon, Uni Emirat Arab, 1422 H.
  24. Lihat Nailul Author (2/454) karya Asy-Syaukani, cet.Dar Al-Kitab Al-Araby, 1420 H
  25. Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ ala Zad Al-Mustaqni’ (3/11) karya Al-‘Utsaimin, cet. Mu’assasah Aasam.
  26. Lihat Fath Al-Bari (2/211)
  27. Lihat Ash-Shohihah (1/1/72-74) karya Al-Albany. Kemudian Syaikh memberikan tambahan bagi ucapannya di atas pada kolom Al-Istidrokat dalam Ash-Shohihah (1/2/903) seraya berkata, “Lalu aku melihat sebuah pembahasan yang berfaedah milik salah seorang saudara kami di Makkah Al-Mukarromah -barokallahu fiih-. Dia mendukung (membela) sunnah yang kuat ini dalam risalahnya yang ia hadiahkan kepadaku “At-Tatimmat li Ba’dhi Masa’il Ash-Sholah”, hal.41-42. Maka silakan kitab itu dirujuk, niscaya anda akan mendapatkan tambahan ilmu dan faedah, insya Allah”.
  28. HR.Al-Bukhary dalam Kitab Ar-Riqoq (6502). Lihat Hidayah Ar-Ruwah (2/420) karya Ibnu Hajar, dengan takhrij Al-Albany, Cet.Dar Ibnul Qoyyim dan Dar Ibnu Affan, 1422 H.

Sumber:

Benarkah Sholahuddin Al-Ayyubi Pencetus Perayaan Maulid Nabi Sholallohu ’alaihi wa sallam?

Oleh:
Al-Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf

Alkisah
Ada sebuah kisah yang cukup masyhur di negeri nusantara ini tentang peristiwa pada saat menjelang Perang Salib. Ketika itu kekuatan kafir menyerang negeri Muslimin dengan segala kekuatan dan peralatan perangnya. Demi melihat kekuatan musuh tersebut, sang raja muslim waktu itu, Sholahuddin al-Ayyubi, ingin mengobarkan semangat jihad kaum muslimin. Maka beliau membuat peringatan maulid nabi. Dan itu adalah peringatan maulid nabi yang pertama kali dimuka bumi.

Begitulah cerita yang berkembang sehingga yang dikenal oleh kaum Muslimin bangsa ini, penggagas perayaan untuk memperingati kelahiran Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam ini adalah Imam Sholahuddin al Ayyubi. Akan tetapi benarkah cerita ini? Kalau tidak, lalu siapa sebenarnya pencetus peringatan malam maulid nabi? Dan bagaimana alur cerita sebenarnya?

Kedustaan Kisah Ini
Anggapan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah pencetus peringatan malam maulid nabi adalah sebuah kedustaan yang sangat nyata. Tidak ada satu pun kitab sejarah terpercaya –yang secara gamblang dan rinci menceritakan kehidupan Imam Sholahuddin al Ayyubi- menyebutkan bahwa beliau lah yang pertama kali memperingati malam maulid nabi.

Akan tetapi, para ulama ahli sejarah justru menyebutkan kebalikannya, bahwa yang pertama kali memperingati malam maulid nabi adalah para raja dari Daulah Ubaidiyyah, sebuah Negara (yang menganut keyakinan) Bathiniyyah Qoromithoh meskipun mereka menamakan dirinya sebagai Daulah Fathimiyyah.

Merekalah yang dikatakan oleh Imam al Ghozali: “Mereka adalah sebuah kaum yang tampaknya sebagai orang Syiah Rafidhah padahal sebenarnya mereka adalah orang-orang kafir murni.” Hal ini dikatakan oleh al Miqrizi dalam al-Khuthoth: 1/280, al Qolqosyandi dalam Shubhul A’sya: 3/398, as Sandubi dalam Tarikh Ihtifal Bil Maulid hal.69, Muhammad Bukhoit al Muthi’I dalam Ahsanul Kalam hal.44, Ali Fikri dalam Muhadhorot beliau hal.84, Ali Mahfizh dalam al `Ibda’ hal.126.

Imam Ahmad bin Ali al Miqrizi berkata: “Para kholifah Fathimiyyah mempunyai banyak perayaan setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, perayaan hari asyuro, perayaan maulid nabi, maulid Ali bin Abi Tholib, maulid Hasan, maulid Husein, maupun maulid Fathimah az Zahro’, dan maulid kholifah. (Juga ada) perayaan awal Rojab, awal Sya’ban, nisfhu Sya’ban, awal Romadhon, pertengahan Romadhon, dan penutup Ramadhon…” [al Mawa'izh:1/490]

Kalau ada yang masih mempertanyakan: bukankah tidak hanya ulama yang menyebutkan bahwa yang pertama kali membuat acara peringatan maulid nabi ini adalah raja yang adil dan berilmu yaitu Raja Mudhoffar penguasa daerah Irbil?

Kami jawab: Ini adalah sebuah pendapat yang salah berdasarkan yang dinukil oleh para ulama tadi. Sisi kesalahan lainnya adalah bahwa Imam Abu Syamah dalam al Ba’its `Ala Inkaril Bida’ wal h\Hawadits hal.130 menyebutkan bahwa raja Mudhoffar melakukan itu karena mengikuti Umar bin Muhammad al Mula, orang yang pertama kali melakukannya. Hal ini juga disebutkan oleh Sibt Ibnu Jauzi dalam Mir’atuz Zaman: 8/310. Umar al Mula ini adalah salah seorang pembesar sufi, maka tidaklah mustahil kalau Syaikh Umar al Mula ini mengambilnya dari orang-orang Ubaidiyyah.

Adapun klaim bahwa Raja Mudhoffar sebagai raja yang adil, maka urusan ini kita serahkan kepada Allah akan kebenarannya. Namun, sebagian ahli sejarah yang sezaman dengannya menyebutkan hal yang berbeda. Yaqut al Hamawi dalam Mu’jamul Buldan 1/138 berkata: “Sifat raja ini banyak kontradiktif, dia sering berbuat zalim, tidak memperhatikan rakyatnya, dan senang mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar.” [lihat al Maurid Fi `Amanil Maulid kar.al Fakihani – tahqiq Syaikh Ali- yang tercetak dalam Rosa'il Fi Hukmil Ihtifal Bi Maulid an Nabawi: 1/8]

Alhasil, pengingatan maulid nabi pertama kali dirayakan oleh para raja Ubaidiyyah di Mesir. Dan mereka mulai menguasai Mesir pada tahun 362H. Lalu yang pertama kali merayakannya di Irak adalah Umar Muhammad al Mula oleh Raja Mudhoffar pada abad ketujuh dengan penuh kemewahan.

Para sejarawan banyak menceritakan kejadian itu, diantaranya al Hafizh Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah: 13/137 saat menyebutkan biografi Raja Mudhoffar berkata: “Dia merayakan maulid nabi pada bulan Robi’ul Awal dengan amat mewah. As Sibt berkata: “Sebagian orang yang hadir disana menceritakan bahwa dalam hidangan Raja Mudhoffar disiapkan lima ribu daging panggang, sepuluh ribu daging ayam, seratus ribu gelas susu, dan tiga puluh ribu piring makanan ringan…”

Imam Ibnu Katsir juga berkata: “Perayaan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan para tokoh sufi. Sang raja pun menjamu mereka, bahkan bagi orang sufi ada acara khusus, yaitu bernyanyi dimulai waktu dzuhur hingga fajar, dan raja pun ikut berjoget bersama mereka.”

Ibnu Kholikan dalam Wafayat A’yan 4/117-118 menceritakan: “Bila tiba awal bulan Shofar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada setiap kubah ada sekumpulan penyanyi, ahli menunggang kuda, dan pelawak. Pada hari-hari itu manusia libur kerja karena ingin bersenang-senang ditempat tersebut bersama para penyanyi. Dan bila maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya, dengan diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba dilapangan.” Dan pada malam mauled, raja mengadakan nyanyian setelah sholat magrib di benteng.”

Setelah penjelasan diatas, maka bagaimana dikatakan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah penggagas maulid nabi, padahal fakta sejarah menyebutkan bahwa beliau adalah seorang raja yang berupaya menghancurkan Negara Ubaidiyyah. [1]

Siapakah Gerangan Sholahuddin al Ayyubi [2]
Beliau adalah Sultan Agung Sholahuddin Abul Muzhoffar Yusuf bin Amir Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub ad Duwini. Beliau lahir di Tikrit pada 532 H karena saat itu bapak beliau, Najmuddin, sedang menjadi gubernur daerah Tikrit.

Beliau belajar kepada para ulama zamannya seperti Abu Thohir as Silafi, al Faqih Ali bin Binti Abu Sa’id, Abu Thohir bin Auf, dan lainnya. Nuruddin Zanki (raja pada saat itu) memerintah beliau untuk memimpin pasukan perang untuk masuk Mesir yang saat itu di kuasai oleh Daulah Ubaidiyyah sehingga beliau berhasil menghancurkan mereka dan menghapus Negara mereka dari Mesir.

Setelah Raja Nuruddin Zanki wafat, beliau yang menggantikan kedudukannya. Sejak menjadi raja beliau tidak lagi suka dengan kelezatan dunia. Beliau adalah seorang yang punya semangat tinggi dalam jihad fi sabilillah, tidak pernah didengar ada orang yang semisal beliau. Perang dahsyat yang sangat monumental dalam kehidupan Sholahuddin al Ayyubi adalah Perang Salib melawan kekuatan kafir salibis. Beliau berhasil memporak porandakan kekuatan mereka, terutama ketika perang di daerah Hithin.

Muwaffaq Abdul Lathif berkata: “Saya pernah datang kepada Sholahuddin saat beliau berada di Baitul Maqdis (Palestina, red), ternyata beliau adalah seorang yang sangat dikagumi oleh semua yang memandangnya, dicintai oleh siapapun baik orang dekat maupun jauh. Para panglima dan prajuritnya sangat berlomba-lomba dalam beramal kebaikan. Saat pertama kali aku hadir di majelisnya, ternyata majelis beliau penuh dengan para ulama, beliau banyak mendengarkan nasihat dari mereka.”

Adz Dzahabi berkata: “Keutamaan Sholahuddin sangat banyak, khususnya dalam masalah jihad. Beliau pun seorang yang sangat dermawan dalam hal memberikan harta benda kepada para pasukan perangnya. Beliau mempunyai kecerdasan dan kecermatan dalam berfikir, serta tekad yang kuat.”
Sholahuddin al Ayyubi wafat di Damaskus setelah subuh pada hari Rabu 27 Shofar 589 H. Masa pemerintahan beliau adalah 20 tahun lebih.

______
Footnote:
[1] Untuk lebih lengkapnya tentang sejarah peringatan maulid nabi dan hokum memperingatinya, silahkan dilihat risalah Akhuna al- Ustadz Abu Ubaidah “Polemik Perayaan Maulid Nabi”
[2] Disarikan dari Siyar A’lamin Nubala’: 15/434 no.5301
Sumber: Diketik ulang dari Majalah al Furqon Edisi 09 Thn.XIII, Robi’uts Tsani 1430/April 2009, Hal.57-58

Sumber:
[Disalin dari Majalah Al Furqon 09/Thn.XIII, Rabi’uts Tsani 1430/April 2009, Halaman .57-58]

AWAS ADA HIDDEN CAMERA SAAT DI TOILET/KAMAR PAS !!!


Bagaimana Mendeteksi Kamera Tersembunyi di Ruang/Kamar Pas?

Di depan ruang/kamar pas ambil ponsel Anda dan pastikan bahwa ponsel dapat melakukan panggilan ... Lalu masuk ke dalam, ambil ponsel Anda dan lakukan panggilan lagi.. Jika anda tidak dapat melakukan panggilan, Berarti ada kamera tersembunyi ..!!! Hal ini disebabkan oleh pengaruh gangguan kamera pada kabel serat optik ponsel selama transfer sinyal!!

Copy by: BKLDKBandung

DOA & DZIKIR DI WAKTU PETANG

Sebelumnya kami telah memaparkan mengenai bacaan Dzikir Pagi. Sebagai sambungan dari tulisan sebelumnya, berikut kami paparkan dzikir sore. Moga dengan dzikir ini, Allah semakin menguatkan aktivitas kita di sore hari.

Dzikir Dibaca di Waktu Petang (Setelah matahari tenggelam hingga pertengahan malam)


أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”

اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا، وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi-Nya tanpa seizin-Nya. Dia mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al Baqarah: 255) (Dibaca 1 x)[2]

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Ilah yang bergantung kepada- Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al Ikhlas: 1-4) (Dibaca 3 x)


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai Subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”. (QS. Al Falaq: 1-5) (Dibaca 3 x)


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb manusia. Raja manusia. Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia.” (QS. An Naas: 1-6) (Dibaca 3 x)[3]


أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ للهِ، وَالْحَمْدُ للهِ، لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهَا، وَأَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ

“Kami telah memasuki waktu sore dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik Allah kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.Ya Rabbku, aku mohon kepada-Mu kebaikan di malam ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan malam ini dan kejahatan sesudahnya. Ya Rabbku, aku berlindung kepadaMu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di Neraka dan siksaan di kubur.” (Dibaca 1 x)[4]


اللَّهُمَّ بِكَ أَمْسَيْنَا، وَبِكَ أَصْبَحْنَا،وَبِكَ نَحْيَا، وَبِكَ نَمُوتُ، وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

“Ya Allah, dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu sore, dan dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu pagi. Dengan rahmat dan pertolonganMu kami hidup dan dengan kehendakMu kami mati. Dan kepada-Mu tempat kembali (bagi semua makhluk).” (Dibaca 1 x)[5]

Membaca Sayyidul Istighfar


اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

“Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hambaMu. Aku akan setia pada perjanjianku pada-Mu (yaitu menjalankan ketaatan dan menjauhi larangan, pen) semampuku dan aku yakin akan janji-Mu (berupa pahala). Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.” (Dibaca 1 x)[6]


اللَّهُمَّ إِنِّي أَمْسَيْتُ أَُشْهِدُكَ، وَأُشْهِدُ حَمَلَةَ عَرْشِكَ، وَمَلَائِكَتَكَ، وَجَمِيعَ خَلْقِكَ، أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُكَ

“Ya Allah, sesungguhnya aku di waktu sore ini mempersaksikan Engkau, malaikat yang memikul 'Arys-Mu, malaikat-malaikat dan seluruh makhluk-Mu, bahwa sesungguhnya Engkau adalah Allah, tiada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau semata, tiada sekutu bagi-Mu dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu.” (Dibaca 4 x)[7]


اللَّهُمَّ مَا أَمْسَى بِي مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ بِأَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ، فَمِنْكَ وَحْدَكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، لَكَ الْحَمْدُ وَلَكَ اشُّكْرُ

“Ya Allah, nikmat yang kuterima atau diterima oleh seseorang di antara makhluk-Mu di sore ini adalah dari-Mu. Maha Esa Engkau, tiada sekutu bagi-Mu. Bagi-Mu segala puji dan kepada-Mu panjatan syukur (dari seluruh makhluk-Mu).” (Dibaca 1 x)[8]


اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ. اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ

“Ya Allah, selamatkan tubuhku (dari penyakit dan yang tidak aku inginkan). Ya Allah, selamatkan pendengaranku (dari penyakit dan maksiat atau sesuatu yang tidak aku inginkan). Ya Allah, selamatkan penglihatanku, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran. Aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, tiada ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau.” (Dibaca 3 x)[9]


حَسْبِيَ اللهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ

“Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhanku), tiada ilah (yang berhak disembah) kecuali Dia, kepadaNya aku bertawakal. Dia-lah Rabb yang menguasai ‘Arsy yang agung.” (Dibaca 7 x)[10]


اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِى وَآمِنْ رَوْعَاتِى. اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ.

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tenteramkanlah aku dari rasa takut. Ya Allah, peliharalah aku dari muka, belakang, kanan, kiri dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak disambar dari bawahku (oleh ular atau bumi pecah yang membuat aku jatuh dan lain-lain).” (Dibaca 1 x)[11]


اَللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا أَوْ أَجُرُّهُ إِلَى مُسْلِمٍ

“Ya Allah, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, wahai Rabb pencipta langit dan bumi, Rabb segala sesuatu dan yang merajainya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan diriku, setan dan balatentaranya, dan aku (berlindung kepada-Mu) dari berbuat kejelekan terhadap diriku atau menyeretnya kepada seorang muslim.” (Dibaca 1 x)[12]


بِسْمِ اللهِ لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

“Dengan nama Allah yang bila disebut, segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Dibaca 3 x)[13]


رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا

“Aku ridho Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi (yang diutus oleh Allah).” (Dibaca 3 x)[14]


يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ.

“Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dariMu).” (Dibaca 1 x)[15]


أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ فَتْحَهَا، وَنَصْرَهَا، وَنُورَهَا، وَبَرَكَتَهَا، وَهُدَاهَا، وَأَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيهَا، وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا.

”Kami memasuki waktu sore, sedang kerajaan hanya milik Allah, Rabb seluruh alam. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu agar memperoleh kebaikan, pembuka (rahmat), pertolongan (atas musuh), cahaya (di atas ilmu dan amal), berkah (rizki yang halal) dan petunjuk (untuk mengikuti kebenaran dan menyelisihi hawa nafsu) di malam ini. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang ada di dalamnya dan kejahatan sesudahnya.” (Dibaca 1 x)[16]


أَمْسَيْنَا عَلَى فِطْرَةِ اْلإِسْلاَمِ وَعَلَى كَلِمَةِ اْلإِخْلاَصِ، وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ، حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ.

“Di waktu سخقث kami memegang agama Islam, kalimat ikhlas, agama Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan agama ayah kami Ibrahim, yang berdiri di atas jalan yang lurus, muslim dan tidak tergolong orang-orang musyrik.” (Dibaca 1 x)[17]

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ

“Maha suci Allah, aku memujiNya.” (Dibaca 100 x)[18]


لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ.

“Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca 10 x[19] atau 1 x[20] jika dalam keadaan malas)

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakanNya.” (Dibaca 3 x pada petang hari)[21]


اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad.” (Dibaca 10 x)[22]


KONTINU DALAM BERAMAL

Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,


أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [23]

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala telah menjelaskan di dalam Al Quran Al Karim dalam beberapa ayat bahwa kedua ujung siang adalah waktu dzikir pagi dan petang, di antaranya firman Allah,


وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ

”Dan bertasbihlah sambil memuji Rabbmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya).” (QS. Qaaf: 39). Dari sini menunjukkan bahwa waktu dzikir pagi adalah ketika ibkar dan ghuduw yaitu setelah shalat subuh dan sebelum terbit matahari, dan waktu dzikir petang adalah ketika ‘asyiyy dan al-aashal yaitu setelah shalat ashar sebelum tenggelam matahari. Namun waktunya sebenarnya luas, terutama bagi orang yang memiliki kesibukan (sehingga luput dari dzikir), walhamdulilllah”.[24]

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat (Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna)

Riyadh-KSA, 23 Rabi'uts Tsani 1432 H (28/03/2011)

______________________________
Footnote:

[1] HR. Abu Daud no. 3667. Syaikh Al Albani menghasankan hadits tersebut. Lihat Shahih Abu Daud (2/698).

[2] HR. Al Hakim (1/562). Syaikh Al Albani menshahihkan hadits tersebut dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib (1/273, no. 655). Dikuatkan lagi dengan riwayat An Nasai dalam ‘Amal Al Yaum wal Lailah no. 960, Ath Thobroni dalam Al Kabir no. 541. Beliau katakan bahwa sanad Ath Thobroni jayyid.

[3] Dalam hadits dari ‘Abdullah bin Khubaib disebutkan bahwa barangsiapa yang mengucapkan surat tersebut masing-masing sebanyak tiga kali ketika pagi dan sore hari, maka itu akan mencukupinya dari segala sesuatu. (HR. Abu Daud (4/322, no. 5082), Tirmidzi (5/567, no. 3575). Lihat Shahih At Tirmidzi (3/182))

[4] HR. Muslim (4/2088, no. 2723)

[5] HR. Tirmidzi (5/466, no. 3391). Lihat Shahih At Tirmidzi (3/142).

[6] Dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan dzikir ini di siang hari dalam keadaan penuh keyakinan, lalu ia mati pada hari tersebut sebelum sore hari, maka ia termasuk penghuni surga. Dan barangsiapa yang mengucapkannya di malam hari dalam keadaan penuh keyakinan, lalu ia mati sebelum shubuh, maka ia termasuk penghuni surga.” (HR. Bukhari (7/150, no. 6306))

[7] Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan dzikir ini ketika shubuh dan sore hari sebanyak empat kali, maka Allah akan membebaskan dirinya dari siksa neraka.” (HR. Abu Daud (4/317, no. 5069), Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 1201. An Nasai dalam ‘Amal Al Yaum wal Lailah no. 9 dan Ibnus Sunni no. 70. Syaikh Ibnu Baz menyatakan bahwa sanad An Nasai dan Abu Daud hasan sebagaimana dalam Tuhfatul Akhyar hal. 23)

[8] Dalam hadits dari ‘Abdullah bin Ghonnam radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa barangsiapa yang mengucapkan dzikir ini di shubuh hari, maka ia berarti telah menunaikan syukur di hari itu. Dan barangsiapa yang mengucapkan semisal itu pula di sore hari, maka ia berarti telah menunaikan syukur di malam itu. (HR. Abu Daud (4/318, no. 5073), An Nasai dalam ‘Amal Al Yaum wal Lailah no. 7 dan Ibnus Sunni no. 41, Ibnu Hibban (Mawarid) no. 2361. Syaikh Ibnu Baz menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan sebagaimana dalam Tuhfatul Akhyar hal. 24)

[9] HR. Abu Daud (4/324, no. 5090), Ahmad (5/42), An Nasai dalam ‘Amal Al Yaum wal Lailah no. 22, Ibnus Sunni no. 69, Al Bukhari dalam Adabul Mufrod. Syaikh Ibnu Baz menghasankan hadits ini sebagaimana dalam Tuhfatul Akhyar hal. 26.

[10] Dalam hadits dari Abu Ad Darda’ radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa barangsiapa yang mengucapkan dzikir tersebut di shubuh dan sore hari sebanyak tujuh kali, maka Allah akan memberi kecukupan bagi kepentingan dunia dan akhiratnya. (HR. Ibnus Sunni no. 71 secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), Abu Daud secara mauquf (sampai pada sahabat) (4/321, no. 5081). Syaikh Syu’aib dan ‘Abdul Qodir Al Arnauth menyatakan sanad hadits ini shahih dalam Zaadul Ma’ad (2/376))

[11] HR. Abu Daud no. 5074, Ibnu Majah no. 3871. Lihat Shahih Ibnu Majah 2/332.

[12] HR. At Tirmidzi no. 3392, Abu Daud no. 5067. Lihat Shahih At Tirmidzi 3/142.

[13] Dalam hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa barangsiapa yang mengucapkan dzikir tersebut sebanyak tiga kali di shubuh hari dan tiga kali di sore hari, maka tidak akan ada yang memudhorotkannya. (HR. Abu Daud (4/323, no. 5088, 5089), At Tirmidzi (5/465, no. 3388), Ibnu Majah no. 3869, Ahmad (1/72). Lihat Shahih Ibnu Majah (2/332). Syaikh Ibnu Baz menyatakan bahwa sanad hadits tersebut hasan dalam Tuhfatul Akhyar hal. 39)

[14] Dalam hadits Tsauban bin Bujdud radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa barangsiapa yang mengucapkan hadits ini sebanyak tiga kali di shubuh hari dan tiga kali di sore hari, maka pantas baginya mendapatkan ridho Allah di hari kiamat. (HR. Ahmad (4/337), An Nasai dalam ‘Amal Al Yaum wal Lailah no. 4, Ibnus Sunni no. 68, Abu Daud (4/318, no. 5072), At Tirmidzi (5/465, no. 3389). Syaikh Ibnu Baz menghasankan hadits ini dalam Tuhfatul Akhyar hal. 39)

[15] HR. Al Hakim dan beliau menshahihkannya, Adz Dzahabi pun menyetujui hal itu (1/545). Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib (1/273, no. 654)

[16] HR. Abu Daud (4/322, no. 5084). Syaikh Syu’aib dan ‘Abdul Qodir Al Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits tersebut hasan dalam tahqiq Zaadul Ma’ad (2/273).

[17] HR. Ahmad (3/406,407), Ibnus Sunni dalam ‘Amal Yaum wal Lailah no. 34. Lihat Shahih Al Jaami’ (4/209, no. 4674)

[18] Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan kalimat ‘subhanallah wa bi hamdih’ di pagi dan sore hari sebanyak 100 x, maka tidak ada yang datang pada hari kiamat yang lebih baik dari yang ia lakukan kecuali orang yang mengucapkan semisal atau lebih dari itu.” (HR. Muslim (4/2071, no. 2692))

[19] HR. An Nasai dalam ‘Amal Yaum wal Lailah no. 24 dari hadits Abu Ayyub Al Anshori radhiyallahu ‘anhu. Dalam hadits disebutkan bahwa barangsiapa yang menyebutkan dzikir tersebut sebanyak 10 x, Allah akan mencatatkan baginya 10 kebaikan, menghapuskan baginya 10 kesalahan, ia juga mendapatkan pahala semisal memerdekakan 10 budak, Allah akan melindunginya dari gangguan setan, dan jika ia mengucapkannya di sore hari, ia akan mendapatkan keutamaan semisal itu pula. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib (1/272, no. 650), Tuhfatul Akhyar – Syaikh Ibnu Baz (hal. 55).

[20] HR. Abu Daud (4/319, no. 5077), Ibnu Majah no. 3867, Ahmad 4/60. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib (1/270), Shahih Abu Daud (3/957), Shahih Ibnu Majah (2/331), Zaadul Ma’ad (2/377) dan dalamnya ada lafazh “10 x”.

[21] Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa barangsiapa yang mengucapkan dzikir ini di sore hari sebanyak tiga kali, maka ia tidak akan mendapat bahaya racun di malam tersebut. (HR. Ahmad 2/290, An Nasai dalam ‘Amal Al Yaum wal Lailah no. 590 dan Ibnus Sunni no. 68. Lihat Shahih At Tirmidzi 3/187, Shahih Ibnu Majah 2/266, dan Tuhfatul Akhyar hal. 45)

[22] Dari Abu Darda’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bershalawat untukku sepuluh kali di pagi dan sore hari, maka ia akan mendapatkan syafa’atku di hari kiamat nanti.” (HR. Thobroni melalui dua isnad, keduanya jayyid. Lihat Majma’ Az Zawaid (10/120) dan Shahih At Targhib wa At Tarhib (1/273, no. 656))

[23] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.

[24] Tash-hih Ad Du’a’, hal. 337

Sumber:
www.rumaysho.com.

Entri Populer