Assalamu'alaikum Warohmatullohi wabarokatuh !
Selamat Datang & Terima Kasih Atas Kunjungan Anda Di Situs Kami
Untuk Order Cepat WA Kami ke 085710543828 Format Pemesanan Ketik: Psn#NamaProduk#Jumlah#Nama#AlamatLengkap#NoHP#Bank
Sebelum belanja di Toko Online Kami, ada baiknya agar Anda membaca terlebih dahulu menu CARA PEMESANAN & CARA PEMBAYARAN. Kami Menjamin RAHASIA ANDA, setiap Paket yang kami kirim tertutup rapat untuk umum. Harga yang Kami cantumkan di Situs ini adalah Harga Eceran. Untuk Harga GROSIR silahkan Hubungi Kami via Pin BB: 53539271, via Telp: 085217805323, via E-mail: walafan@gmail.com atau SMS ke 085710543828
Tampilkan postingan dengan label Gambar Islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gambar Islami. Tampilkan semua postingan

DAMPAK NEGATIF NIKAH MUT'AH DALAM SYI'AH

Dalam artikel sebelumnya telah kami paparkan mengenai legalitas nikah mut’ah dalam ajaran Syiah. Syiah berpendapat bahwa hal itu sah menurut syariat dan mendapatkan pahala yang agung di sisi Allah. Hakikatnya, agama Islam adalah agama yang sesuai dengan akal manusia yang fitrah, menjunjung tinggi kehormatan dan kesucian, bukanlah agama yang mengedepankan nafsu syahwat dan hasrat-hasrat yang tabu. Islam melarang segala sesuatu yang murni menimbulkan kemudharatan dan sesuatu yang mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya. Di antara hal-hal yang menimbulkan kemudhratan tersebut adalah nikah mut’ah. Kemudharatan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menyalahi nash-nash syariat karena menghalalkan apa yang Allah haramkan.

2. Riwayat-riwayat dusta yang bermacam-macam dan penisbatannya kepada para imam, padahal di dalamnya mengandung caci maki yang tidak akan diridhai oleh orang yang dalam hatinya terdapat sebiji sawi dari keimanan.

3. Kerusakan yang ditimbulkan dari pembolehan mut’ah dengan wanita yang bersuami, walaupun dia berada di bawah penjagaan seorang laki-laki tanpa diketahui oleh suaminya. Dalam keadaan seperti ini seorang suami tidak akan merasa aman terhadap istrinya, karena bisa jadi si istri nikah mut’ah tanpa sepengetahuan suaminya yang sah ini. Pembolehan ini bisa dirujuk di buku Syiah Al Kafi, Jilid: 5, Hal. 463. Tak dapat dibayangkan, bagaimana pandangan seorang laki-laki dan perasaannya ketika dia mengetahui bahwa istri yang berada di bawah perlindungannya menikah dengan laki-laki lain dengan cara mut’ah (dikontrak pen.). Bagaimana pula keadaan anak-anak dan keluarga lainnya apabila hal ini terjadi?!

4. Para bapak juga tidak akan merasa aman terhadap para anak perempuannya yang masih gadis, karena ada kalanya mereka melakukan nikah mut’ah tanpa sepengetahuan bapak-bapak mereka. Sangat mungkin seorang bapak dikagetkan oleh anak gadisnya yang tiba-tiba hamil. Mengapa dia hamil? Bagaimana bisa terjadi? Tidak tahu pula siapa yang menghamili. Atau dia mengetahui anaknya telah menikah dengan seorang laki-laki, tetapi siapakah dia? Dia tidak tahu karena sang suami pergi dan meninggalkannya sebelum berjumpa dengannya karena masa kontrak mut’ah telah berakhir.

5. Kebanyakan tokoh-tokoh Syiah yang membolehkan mut’ah, membolehkan diri mereka untuk nikah mut’ah dengan orang lain, tetapi jika ada seseorang yang meminang anak perempuannya, atau kerabat perempuannya untuk dinikahi dengan cara mut’ah, niscaya dia tidak akan menyetujui dan meridhainya, karena dia memandang pernikahan seperti ini adalah bentuk perendahan harga diri, jauh dari nilai-nilai kesucian, tidak diterima oleh hati nurani, dan sama saja dengan zina. Ini adalah aib bagi dia, dia menyadari hal itu, sementara dia sendiri mut’ah dengan anak perempuan orang lain. Tidak diragukan lagi dia pasti menolak untuk menikahkan anak perempuannya kepada orang lain dengan cara mut’ah, walau dia membolehkan dirinya sendiri untuk menikahi anak perempuan orang lain dengan cara tersebut.

6. Dalam pernikahan mut’ah tidak ada saksi, pengumuman, keridhaan wali wanita yang dikhitbah, dan tidak berlaku hukum waris di antara suami dan istri, tetapi statusnya hanyalah seorang istri yang dikontrak, sebagaimana pendapat yang dinisbatkan kepada Abu Abdullah. Maka bagaimana mungkin syariat Islam mengajarkan dan mendakwahkan pemeluknya agar melakukan hal ini?!

7. Pembolehan mut’ah membuka peluang bagi pemuda dan pemudi yang bobrok akhlak dan kepribadiannya untuk semakin tenggelam dalam kubangan dosa, sehingga hal tersebut akan merusak citra agama dan orang-orang yang taat beragama.

Atas dasar semua itu, maka jelaslah bahaya mut’ah dari sisi kehidupan beragama, kemasyarakatan, dan moral. Oleh karena itu, maka mut’ah diharamkan. Kalaulah dalam mut’ah terdapa kemaslahatan, tentu tidak akan diharamkan, tetapi karena mut’ah mengandung bahaya yang sangat banyak, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkannya.

Demikianlah kehidupan masyarakat yang mayoritas penduduknya adalah Syiah. Bagaimana kebobrokan moral terjadi di lingkungan mereka. Meskipun mereka mengembel-embeli diri mereka sebagai komunitas Islam, masyarakat Islam, atau bahkan negara Islam, maka hakikatnya sangat jauh sekali dari ajaran Islam. Dan tentunya kita menjaga dan saling menasihati kepada kerabat dan teman-teman kita, agar ajaran ini tidak menyebar di bumi pertiwi, sebagai bentuk preventif (pencegahan) terjadinya kerusakan moral bangsa.
Sumber: Al Musawi, Sayid Husain. 2008. Mengapa Saya keluar dari Syiah. Pustaka Al Kautsar, Jakarta.

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

JANGAN SEBUT YAHUDI DENGAN ISRAEL, SEBUTAN 'ZIONIS' LEBIH PANTAS UNTUK MEREKA

Yahudi BUKAN Israel

Sungguh sangat memprihatinkan, banyak di antara kaum muslimin sering tidak sadar dan lepas kontrol ketika berbicara. Tidak hanya terjadi pada orang awam, bisa kita katakan juga terjadi pada sebagian besar pelajar atau bahkan mereka yang merasa memiliki banyak tsaqafah islamiyah.

Barangkali mereka lupa atau mungkin tidak tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّم

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah, diucapkan tanpa kontrol akan tetapi menjerumuskan dia ke neraka.” (HR. Al Bukhari 6478)

Al Hafidz Ibn Hajar berkata dalam Fathul Bari ketika menjelaskan hadis ini, yang dimaksud diucapkan tanpa kontrol adalah tidak direnungkan bahayanya, tidak dipikirkan akibatnya, dan tidak diperkirakan dampak yang ditimbulkan. Hal ini semisal dengan firman Allah ketika menyebutkan tentang tuduhan terhadap Aisyah:

وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْد اللَّه عَظِيم

“Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi Allah.” (QS. An-Nur: 15)

Oleh karena itu, pada artikel ini -dengan memohon pertolongan kepada Allah- penulis ingin mengingatkan satu hal terkait dengan ayat dan hadis di atas, yaitu sebuah ungkapan penamaan yang begitu mendarah daging di kalangan kaum muslimin, sekali lagi tidak hanya terjadi pada orang awam namun juga terjadi pada mereka yang mengaku paham terhadap tsaqafah islamiyah. Ungkapan yang kami maksud adalah penamaan YAHUDI dengan ISRAEL. Tulisan ini banyak kami turunkan dari sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzhahullah yang berjudul “Penamaan Negeri Yahudi yang Terkutuk dengan Israel”.

Tidak diragukan bahkan seolah telah menjadi kesepakatan dunia termasuk kaum muslimin bahwa negeri yahudi terlaknat yang menjajah Palestina bernama Israel. Bahkan mereka yang mengaku sangat membenci yahudi -sampai melakukan boikot produk-produk yang diduga menyumbangkan dana bagi yahudi- turut menamakan yahudi dengan israel. Akan tetapi sangat disayangkan tidak ada seorang pun yang mengingatkan bahaya besar penamaan ini.

Perlu diketahui dan dicamkan dalam benak hati setiap muslim bahwa ISRAIL adalah nama lain dari seorang Nabi yang mulia, keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yaitu Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Allah ta’ala berfirman:

كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ

“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan.” (QS. Ali Imran: 93)

Israil yang pada ayat di atas adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Dan nama ini diakui sendiri oleh orang-orang yahudi, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu: “Sekelompok orang yahudi mendatangi Nabi untuk menanyakan empat hal yang hanya diketahui oleh seorang nabi. Pada salah satu jawabannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Apakah kalian mengakui bahwa Israil adalah Ya’qub?” Mereka menjawab: “Ya, betul.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, saksikanlah.” (HR. Daud At-Thayalisy 2846)

Kata “Israil” merupakan susunan dua kata israa dan iil yang dalam bahasa arab artinya shafwatullah (kekasih Allah). Ada juga yang mengatakan israa dalam bahasa arab artinya ‘abdun (hamba), sedangkan iil artinya Allah, sehingga Israil dalam bahasa arab artinya ‘Abdullah (hamba Allah). (lihat Tafsir At Thabari dan Al Kasyaf ketika menjelaskan tafsir surat Al Baqarah ayat 40)

Telah diketahui bersama bahwa Nabi Ya’qub adalah seorang nabi yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah ta’ala. Allah banyak memujinya di berbagai ayat al Qur’an. Jika kita mengetahui hal ini, maka dengan alasan apa nama Israil yang mulia disematkan kepada orang-orang yahudi terlaknat. Terlebih lagi ketika umat islam menggunakan nama ini dalam konteks kalimat yang negatif, diucapkan dengan disertai perasaan kebencian yang memuncak; Biadab Israil… Israil bangsat… Keparat Israil… Atau dimuat di majalah-majalah dan media massa yang dinisbahkan pada islam, bahkan dijadikan sebagai Head Line News; Israil membantai kaum muslimin… Agresi militer Israil ke Palestina… Israil penjajah dunia…. Dan seterusnya… namun sekali lagi, yang sangat fatal adalah ketika hal ini diucapkan tidak ada pengingkaran atau bahkan tidak merasa bersalah.

Mungkin perlu kita renungkan, pernahkah orang yang mengucapkan kalimat-kalimat di atas merasa bahwa dirinya telah menghina Nabi Ya’qub ‘alaihis salam? pernahkah orang-orang yang menulis kalimat ini di majalah-majalah yang berlabel islam dan mengajak kaum muslimin untuk mengobarkan jihad, merasa bahwa dirinya telah membuat tuduhan dusta kepada Nabi Ya’qub ‘alaihis salam? mengapa mereka tidak membayangkan bahwasanya bisa jadi ungkapan-ungkapan salah kaprah ini akan mendatangkan murka Allah – wal ‘iyaadzu billaah – karena isinya adalah pelecehan dan tuduhan bohong kepada Nabi Ya’qub ‘alaihis salam. Mengapa tidak disadari bahwa Nabi Ya’qub ‘alaihis salam tidak ikut serta dalam perbuatan orang-orang yahudi dan bahkan beliau berlepas diri dari perbuatan mereka yang keparat. Pernahkah mereka berfikir, apakah Nabi Israil ‘alaihis salam ridha andaikan beliau masih hidup?!

Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 58)

Allah menyatakan, menyakiti orang mukmin biasa laki-laki maupun wanita sementara yang disakiti tidak melakukan kesalahan dianggap sebagai perbuatan dosa, bagaimana lagi jika yang disakiti adalah seorang Nabi yang mulia, tentu bisa dipastikan dosanya lebih besar dari pada sekedar menyakiti orang mukmin biasa.

Satu hal yang perlu disadari oleh setiap muslim, penamaan negeri yahudi dengan Israil termasuk salah satu di antara sekian banyak konspirasi (makar) yahudi terhadap dunia. Mereka tutupi kehinaan nama asli mereka YAHUDI dengan nama Bapak mereka yang mulia Nabi Israil ‘alaihis salam. Karena bisa jadi mereka sadar bahwa nama YAHUDI telah disepakati jeleknya oleh seluruh dunia, mengingat Allah telah mencela nama ini dalam banyak ayat di Al-Qur’an.

Kita tidak mengingkari bahwa orang-orang yahudi merupakan keturunan Nabi Israil ‘alaihis salam, akan tetapi ini bukan berarti diperbolehkan menamakan yahudi dengan nama yang mulia ini. Bahkan yang berhak menyandang nama dan warisan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan para nabi yang lainnya adalah kaum muslimin dan bukan yahudi yang kafir. Allah ta’ala berfirman:

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)

إن أولى الناس بإبراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي والذين آمنوا والله ولي المؤمنين

“Sesungguhnya orang yang paling berhak terhadap Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini, beserta orang-orang yang beriman, dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 68)

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk mengucapkan dan melakukan perbuatan yang dicintai dan di ridai oleh Allah ta’ala.

* * *

“Sedikitpun kami tidak berniat menghina Nabi Ya’qub ‘alaihis salam dalam penggunaan kalimat-kalimat ini sebaliknya, yang kami maksud adalah yahudi…”

Barangkali ini salah satu pertanyaan yang akan dilontarkan oleh sebagian kaum muslimin ketika menerima nasihat ini. Maka jawaban singkat yang mungkin bisa kita berikan: Justru inilah yang berbahaya, seseorang melakukan sesuatu yang salah namun dia tidak sadar kalau dirinya sedang melakukan kesalahan. Bisa jadi hal ini tercakup dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Bukankah semua pelaku perbuatan bid’ah tidak berniat buruk ketika melakukan kebid’ahannya, namun justru inilah yang menyebabkan dosa perbuatan bid’ah tingkatannya lebih besar dari melakukan dosa besar.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Mekkah, Orang-orang musyrikin Quraisy mengganti nama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Mudzammam (manusia tercela) sebagai kebalikan dari nama asli Beliau Muhammad (manusia terpuji). Mereka gunakan nama Mudzammam ini untuk menghina dan melaknat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. misalnya mereka mengatakan; “terlaknat Mudzammam”, “terkutuk Mudzammam”, dan seterusnya. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merasa dicela dan dilaknat, karena yang dicela dan dilaknat orang-orang kafir adalah “Mudzammam” bukan “Muhammad”, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ألا تعجبون كيف يصرف الله عني شتم قريش ولعنهم يشتمون مذمماً ويلعنون مذمماً وأنا محمد

“Tidakkah kalian heran, bagaimana Allah mengalihkan dariku celaan dan laknat orang Quraisy kepadaku, mereka mencela dan melaknat Mudzammam sedangkan aku Muhammad.” (HR. Ahmad & Al Bukhari)

Meskipun maksud orang Quraisy adalah mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun karena yang digunakan bukan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Beliau tidak menilai itu sebagai penghinaan untuknya. Dan ini dinilai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk mengalihkan penghinaan terhadap dirinya. Oleh karena itu, bisa jadi orang-orang Yahudi tidak merasa terhina dan dijelek-jelekkan karena yang dicela bukan nama mereka namun nama Nabi Ya’qub ‘alaihis salam.

Di samping itu, Allah juga melarang seseorang mengucapkan sesuatu yang menjadi pemicu munculnya sesuatu yang haram. Allah melarang kaum muslimin untuk menghina sesembahan orang-orang musyrikin, karena akan menyebabkan mereka membalas penghinaan ini dengan menghina Allah ta’ala. Allah berfirman:

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu.” (QS. Al An’am: 108)

Allah ta’ala melarang kaum muslimin yang hukum asalnya boleh atau bahkan disyari’atkan – menghina sesembahan orang musyrik – karena bisa menjadi sebab orang musyrik menghina Allah subhanahu wa ta’ala. Dan kita yakin dengan seyakin-yakinnya, tidak mungkin para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menyaksikan turunnya ayat ini memiliki niatan sedikitpun untuk menghina Allah ta’ala. Maka bisa kita bayangkan, jika ucapan yang menjadi sebab celaan terhadap kebenaran secara tidak langsung saja dilarang, bagaimana lagi jika celaan itu keluar langsung dari mulut kaum muslimin meskipun mereka tidak berniat untuk menghina Nabi Israil ‘alaihis salam.

* * *

Cuma sebatas istilah, yang pentingkan esensinya… bahkan para ulama’ memiliki kaidah “Tidak perlu memperdebatkan istilah.”

Di atas telah dipaparkan bahwa menamakan negeri yahudi dengan Israil merupakan celaan terhadap Nabi Israil ‘alaihis salam, baik langsung maupun tidak langsung, baik diniatkan untuk mencela maupun tidak, semuanya dihitung mencela Nabi Israil ‘alaihis salam tanpa terkecuali. Dan kaum muslimin yang sejati selayaknya tidak meremehkan setiap perbuatan dosa atau perbuatan yang mengundang dosa. Karena dengan meremahkannya akan menyebabkan perbuatan yang mungkin nilainya kecil menjadi besar. Sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa di antara salah satu penyebab dosa kecil menjadi dosa besar adalah ketika pelakunya meremehkan dosa kecil tersebut.

Bahkan kita telah memahami bahwa mencela, menghina, melakukan tuduhan dusta kepada seorang Nabi adalah dosa besar. Akankah hal ini kita anggap ini biasa?! Sekali lagi, akan sangat membahayakan bagi seseorang, ketika dia mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah, sementara dia tidak sadar. Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi Allah. (QS. An-Nur: 15)

Untuk kaidah “Tidak perlu memperdebatkan istilah”, kita tidak mengingkari keabsahan kaidah ini mengingat ungkapan tersebut merupakan kaidah yang masyhur di kalangan para ulama’. Akan tetapi maksud kaidah ini tidaklah melegalkan penamaan Yahudi dengan Israel. Karena kaidah ini berlaku ketika makna istilah tersebut sudah diketahui tidak menyimpang, sebagaimana yang dipaparkan oleh Abu Hamid Al Ghazali dalam bukunya Al Mustashfaa fi Ilmil Ushul.

Istilah Israil untuk negeri yahudi telah menjadi konsensus (kesepakatan) dunia. Kita cuma ikut-ikutan…

Setiap kaum muslimin selayaknya berusaha menjaga syi’ar-syi’ar islam, misalnya dengan belajar bahasa arab (baik lisan maupun tulisan), menghafalkan Al Qur’an, dan termasuk dalam hal ini adalah membiasakan diri untuk menggunakan istilah-istilah yang Allah gunakan dalam Al Qur’an atau dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama istilah tersebut dapat dipahami orang lain.

Sebagai bentuk pemeliharaan terhadap syi’ar islam, para sahabat terutama Umar Ibn Al Khattab radhiyallahu ‘anhu sangat menekankan agar umat islam mempelajari bahasa arab. Beliau pernah mengatakan: “Pelajarilah bahasa arab, karena itu bagian dari agama kalian.” Beliau juga mengatakan: “Hati-hati kalian dengan bahasa selain bahasa arab.” Umar radhiyallahu ‘anhu membenci kaum muslimin membiasakan diri dengan berbicara selain bahasa arab tanpa ada kebutuhan, dan ini juga yang dipahami oleh para sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum. Mereka (para sahabat radhiyallahu ‘anhum) menganggap bahasa arab sebagai konsekuensi agama, sedangkan bahasa yang lainnya termasuk syi’ar kemunafikan. Karena itu, ketika para sahabat berhasil menaklukkan satu negeri tertentu, mereka segera mengajarkan bahasa arab kepada penduduknya meskipun penuh dengan kesulitan. (lihat Muqaddimah Iqtidla’ Shirathal Mustaqim, Syaikh Nashir al ‘Aql)

Dalam bahasa arab, waktu sepertiga malam yang awal dinamakan ‘atamah. Orang-orang arab badui di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kebiasaan menamai shalat Isya’ dengan nama waktu pelaksanaan shalat isya’ yaitu ‘atamah. Kebiasaan ini kemudian diikuti oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dengan menamakan shalat isya’ dengan shalat ‘atamah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka melalui sabdanya:

لا يغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم فإنها العشاء إنما يدعونها العتمة لإعتامهم بالإبل لحلابها

“Janganlah kalian ikut-ikutan orang arab badui dalam menamai shalat kalian, sesungguhnya dia adalah shalat Isya’, sedangkan orang badui menamai shalat isya dengan ‘atamah karena mereka mengakhirkan memerah susu unta sampai waktu malam.” (HR. Ahmad, dinyatakan Syaikh Al Arnauth sanadnya sesuai dengan syarat Muslim)

Al Quthuby mengatakan: “Agar nama shalat isya’ tidak diganti dengan nama selain yang Allah berikan, dan ini adalah bimbingan untuk memilih istilah yang lebih utama bukan karena haram digunakan dan tidak pula menunjukkan bahwa penggunaan istilah ‘atamah tidak diperbolehkan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggunakan istilah ini dalam hadisnya…” (‘Umdatul Qori Syarh Shahih Al Bukhari karya Al ‘Aini)

Demikianlah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam menjaga syi’ar islam. Sampai menjaga istilah-istilah yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal penggunaan istilah asing dalam penamaan shalat isya’ tidak sampai derajat haram, karena tidak mengandung makna yang buruk.

***

Lalu dengan apa kita menamai mereka?! Kita menamai mereka sebagaimana nama yang Allah berikan dalam Al-Qur’an, YAHUDI dan bukan ISRAEL. Dan sebagaimana disampaikan di atas, hendaknya setiap muslim membiasakan diri dalam menamakan sesuatu sesuai dengan yang Allah berikan. Hendaknya kita namakan orang-orang yang mengaku pengikut Nabi Isa ‘alahis salam dengan NASRANI bukan KRISTIANI, kita namakan hari MINGGU dengan AHAD bukan MINGGU, kita namakan shalat dengan SHALAT bukan SEMBAHYANG dan seterusnya selama itu bisa dipahami oleh orang yang diajak bicara, sebagai bentuk penghormatan kita terhadap syi’ar-syi’ar agama islam. Wallaahu waliyyut taufiiq…

***

Penulis: Ammi Nur Baits

REMOVE YOUR MISCONCEPTION ABOUT ISLAM: READ THE STORY HERE

A British man came to Sheikh and asked: Why is it not permissible in Islam for women to shake hands with a man?

The Sheikh said: Can you shake hands with Queen Elizabeth?

British man said: Of course not, there are only certain people who can shake hands with Queen Elizabeth.

Sheikh replied: our women are queens and queens do not shake hands with strange men.

Then the British man asked the Sheikh: Why do your girls cover up their body and hair?

The Sheikh smiled and got two sweets, he opened the first one and kept the other one closed. He threw them both on the dusty floor and asked the British: If I asked you to take one of the sweets which one will you choose?

The British replied: The covered one.

The Sheikh said: that’s how we treat and see our woman.

*********************************************

JANGAN SALAH FAHAM TENTANG ISLAM: BACALAH KISAH BERIKUT INI

Seorang Pria Inggris datang dan bertanya kepada seorang Syaikh: Mengapa Islam tidak memperbolehkan seorang Wanita untuk berjabat tangan dengan laki-laki (yang bukan Mahrom)?

Syaikh Menjawab: Apakah kau bisa berjabat tangan dengan Ratu Elizabeth?

Pria Inggris itu berkata: Tentu saja tidak, hanya orang tertentu yang bisa berjabat tangan dengan Ratu Elizabeth.

Syaikh pun menjawab: Wanita-wanita kami adalah ratu dan para ratu tidak berjabat tangan dengan laki-laki asing (yang bukan mahrom).

Lalu Pria Inggris itu bertanya kembali kepada Syaikh: Mengapa para perempuan diharuskan menutup tubuh dan rambut mereka?

Syaikh pun tersenyum dan mengeluarkan 2 buah permen, beliau mengupas bungkus permen yang pertama dan permen kedua dibiarkan tertutup. Kemudian Syaikh melempar kedua permen itu ke lantai yang penuh debu lalu bertanya kepada Pria Inggris: Jika aku memintamu untuk memilih dari salah satu permen itu, mana yang akan kau ambil?

Pria Inggris menjawab: (tentu saja) yang masih terbungkus.

Syaikh pun berkata: Begitulah cara kami memperlakukan dan melihat wanita-wanita kami.

Copas dari Spreading the truth of Islam dengan terjemahan seadanya.

JANGAN MERASA BENAR SENDIRI

Ditulis oleh:
Abu Yahya Badrussalam, Lc.

Banyak orang ketika anda tegur kesalahan yang ia lakukan berkilah dengan mengatakan: "sudahlah, jangan merasa benar sendiri !" Sehingga menjadi pertanyaan pada benak banyak orang, apakah perkataan tersebut berasal dari wahyu ataukah hanya sebatas kilah yang tak beralaskan pada dalil? Tentunya hal ini harus kita cermati secara seksama dengan hati yang dingin apakah ada ayat atau hadits atau pendapat para ulama yang mengatakan dengan perkataan tersebut.

Cobalah kita buka surat An-Nisaa: 59
"Artinya: Jika kamu berbeda pendapat tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rosul (assunnah) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.."

Ayat ini dengan tegas mengatakan bahwa setiap perselisihan wajib dikembalikan kepada Allah dan RosulNya, Allah tidak mengatakan:

"Jika kamu berselisih janganlah kamu merasa benar sendiri, atau kembalikan pada pendapat masing-masing. Akan tetapi Allah menyuruh untuk mengembalikannya kepada Al Qur'an dan sunnah, ini menunjukkan bahwa yang benar hanyalah yang berdasarkan Al Qur'an dan sunnah"

Para sahabat senantiasa menyalahkan orang-orang yang mereka pandang salah dan tidak pernah diantara mereka yang mengatakan, " jangan merasa benar sendiri !"

Seperti dalam suatu kisah yang diriwayatkan oleh Al-Lalikai dalam kitab Syarah I'tiqod Ahlissunnah dengan sanad yang shohih dan Addarimi dalam sunannya bahwa Ibnu Mas'ud mendatangi suatu kaum yang berdzikir berjama'ah dengan memakai kerikil dan berkata:"Celaka kamu Umat Muhammad betapa cepatnya kebinasaan kalian….apakah kamu merasa diatas millah Muhammad ataukah kamu hendak membuka pintu kesesatan? kemudian mereka berkata: "sesungguhnya kami menginginkan kebaikan". Beliau berkata: "Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi ia tidak mendapatkannya (karena caranya salah, pen)". dalam kisah tersebut tidak dikatakan: jangan kamu merasa benar sendiri.

Demikian pula para Tabi'in, disebutkan dalam kisah yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam sunannya,Abdurrozaq, Ad Darimi dan Ibnu Nashr bahwa Sa'id bin Musayyib melihat seorang laki-laki sholat setelah terbit fajar lebih dari dua roka'at lalu Sa'id melarangnya, kemudian orang itu berkata: " wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengadzab saya gara-gara sholat? Beliau menjawab "Tidak, tapi Allah akan mengadzabmu karena menyalahi sunnah". Tidak pula dikatakan padanya: jangan merasa benar sendiri.

Demikian pula Tabi'ut Tabi'in dan para ulama setelahnya. Senantiasa mereka membantah pendapat yang mereka pandang lemah atau salah tapi tidak ada satupun dari mreka yang mengatakan " jangan merasa benar sendiri". Disebutkan dalam kisah yang shohih bahwa Imam Asy Syafi'i mendebat Imam Ahmad dalam masalah hukum orang yang meninggalkan sholat, dimana Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang meninggalkan sholat kafir murtad dari agama Islam sedangkan Imam Asy Syafi'i tidak mengkafirkannya, tapi Imam Asy Syafi'i tidak pernah mengatakan: " jangan merasa benar sendiri" tapi yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi'i adalah: "Tidaklah aku berdialog dengan seorangpun kecuali aku berkata: Ya Allah alirkanlah kebenaran pada lisan dan hatinya, jika kebenaran itu bersamaku,ia mau mengikutiku dan jika kebenaran itu ada padanya, aku akan mengikutinya".

Mereka juga menulis kitab-kitab bantahan terhadap bid'ah dan kesesatan, Imam Ahmad menulis kitab Arrodd alal Jahmiyyah (bantahan terhadap Jahmiyyah), Abu Dawud punya kitab Arrodd 'alal qodariyyah (bantahan terhadap Al Qodariyyah), Ad Darimi menulis kitab Roddu Utsman Ad Darimi 'ala Bisyir Al Marisi Adl Dlooll (bantahan Utsman Ad Darimi terhadap Bisyir Al Marisi yang sesat) dan banyak lagi kitab-kitab bantahan lainnya. Tidak ada satupun diantara mereka yang berkata: "jangan merasa benar sendiri". Coba anda renungkan perkataan Abu Isma'il Abdullah bin Muhammad Al Anshori "Pedang dihadapkan kepadaku sebanyak lima kali bukan untuk menyuruhku agar keluar dari keyakinanku, akan tetapi dikatakan kepadaku: "Diamlah dari orang yang menyelisihmu !! aku tetap menjawab "Aku tidak akan pernah diam .."

Merasa benar adalah fitrah manusia, buktinya jika engkau bertanya kepada orang yang mengatakan " Jangan merasa benar sendiri": "Apakah anda merasa benar dengan perkataan tersebut ? tentu ia berkata: "Ya", Dia sendiri merasa benar sendiri dengan pendapat tersebut lalu ia melarang orang lain merasa benar sendiri, jelas ini kontradiktif yang fatal.

Meluruskan Pemahaman sebagian orang ada yang berdalil dengan sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kamu sholat kecuali di Bani Quroidzoh, kemudian ditengah jalan masuk waktu ashar, maka sebagian mereka berkata "Kita sholat disana". Sebagian lagi berkata: "Kita sholat dijalan, beliau tidak bermaksud demikian". Lalu disebutkan hal itu kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam tapi beliau tidak mencela seorangpun dari mereka.

Al Hafidz ibnu Hajar dalam fathul Bari (7/409-410) berkata, "Berdalil dengan kisah ini untuk mengatakan bahwa setiap mujtahid itu benar adalah pendalilan yang tidak jelas, hadist ini hanya menunjukkan bahwa beliau tidak mencela orang yang memberikan kesungguhan untuk berijtihad". Hal ini menunjukkan kepada dua perkara:

Pertama: Pendapat yang mengatakan bahwa setiap mujtahid itu benar adalah pendapat yang bathil, karena Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dalam hadist ijtihad (yaitu hadits: "Apabila Hakim berijtihad kemudian benar maka ia mendapat dua pahala dan apabila salah maka ia mendapatkan satu pahala"). Beliau shalallahu 'alaihi wa sallam hanya menyebutkan benar atau salah tidak mengatakan bahwa dua-duanya benar.

Kedua: Bahwa perkara ini khusus para mujtahid, adapun bila telah nyata bahwa mujtahid itu salah dalam ijtihadnya maka haram kita mengikuti kesalahannya tersebut.

Sebagian lagi ada yang berhujjah dengan hadits: "Perselisihan umatku adalah rahmat".

Padahal hadist ini dinyatakan oleh para ahli hadits sebagai hadits yang tidak ada asal usulnya. lihat silsilah dlo'ifah I/76-85) Ibni Hazm berkata: " ini adalah perkataan yang sangat rusak, sebab jika perselisihan itu rahmat berarti persatuannya adalah adzab, jelas ini tidak akan di katakan oleh seorang muslimpun, karena tidak ada kecuali berselisih atau bersatu " (Al Ihkamul fi ushulil fiqih 4/64).

Bahkan secara akalpun pernyataan bahwa ikhtilaf (perselisihan) adalah rahmat adalah bathil, sebab kita semua tahu bahwa tujuan musyawarah adalahlah untuk mencari mufakat, bila perselisihan itu rahmat, maka seharusnya musyawarah tujuannya adalah supaya berselisih karena ia adalah rahmat. Dan ini jelas batil bagi orang yang berakal.

Sebagian lagi ada yang berkata:"Sudahlah selama itu masih di perselisihkan oleh para ulama tidak perlu kita merasa benar sendiri, sehingga perselisihan ulama dijadikan hujjah untuk membolehkan pendapatnya, padahal Allah subhanahu wata'ala menyuruh kita untuk mencari pendapat yang lebih dekata kepada Al Qur'an dan As sunnah. Pendapat ini telah disanggah oleh para ulama di antaranya adalah Imam Ibnu Abdil Barr, beliau berkata "Perselisihan ulama bukan hujjah menurut seluruh para ulama yang kami ketahui" (Jami ul bayan 2/229)

Al Khaththabi berkata: "Ikhtilaf ulama bukan hujjah tapi menjelaskan sunnah adalah hujjah dari zaman dahulu sampai sekarang". (A'lamul Hadits 3/2092).

Ibnu Taimiyah berkata, "Tidak boleh seorang pun berhujjah dengan pendapat seseorang dalam perkara yang masih di perselisihkan, karena hujjah itu hanyalah nash,ijma dan dalil yang diambil dari keduanya, bukan diambil dari pendapat ulama karena pendapat ulama dijadikan hujjah bila sesuai dengan dalil syari'at dan tidak boleh dijadikan hujjah untuk menolak dalil syari'at ". (Majmu fatawa 26/202-203).

Demikian pula para ulama ushul fiqih telah membahas suatu bab ilmu ushul fiqih yang bernama bab Tarjih yaitu tata cara memilih pendapat yang paling kuat,bila sebatas perselisihan ulama dapat dijadikan alasan tentulah pembahasan maslah tarjih tidak akan ada manfaatnya.

Bahkan berhujjah dengan perselisihan para ulama pada zaman sekarang di gunakan oleh aliran sesat yang bernama JIL (Jaringan Islam Liberal) dimana mereka selalu membawakan pendapat ulama yang sesuai dengan seleranya. Hal ini menunjukkan bahwa berhujjah dengan perselisihan ulama adalah membuka pintu bagi orang-orang sesat untuk berkilah dan membenarkan pendapatnya. Sungguh benar perkataan seorang ulama salaf: "Barang siapa yang mencari-cari rukhsoh para ulama ia akan menjadi zindiq".

Jadi merasa benar dengan pendapatnya yang jelas dalilnya lebih-lebih bila didukung oleh ijma ulama adalah sebuah keharusan sedangkan merasa benar dengan kesesatan adalah kesalahan fatal. Adapun dalam perkara ijtihadi yang tidak ada dalilnya yang gamblang maka kita ikuti yang paling kuat dalilnya tanpa menyesatkan yang lainnya.

Wallahu alam.

Rujukan
Zajrul Matahawin
Ilmu Ushul Bida',
Majmu Fatawa dll.

Fatwa Resmi dari MUI bahwa syi'ah adalah SESAT


FATWA MUI TENTANG FAHAM SYI’AH

Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H/Maret 1984 M merekomendasikan tentang faham Syi’ah sebagai berikut:

Faham Syi’ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia.

Perbedaan itu di antaranya:

1. Syi’ah menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu musthalah hadits.

2. Syi’ah memandang “Imam” itu ma ‘sum (orang suci), sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).

3. Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ ah mengakui Ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam”.

4. Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi dakwah dan kepentingan umat.

5.Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar As-Shiddiq, Umar Ibnul Khatthab, dan Usman bin Affan, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui keempat Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib).

Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (pemerintahan)”, Majelis Ulama Indonesia mengimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah.

Ditetapkan: Jakarta, 7 Maret 1984 M (4 Jumadil Akhir 1404 H)

KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML
Ketua

H. Musytari Yusuf, LA
Sekretaris

Entri Populer